Kepemimpinan Lingkungan (Environmental Leadership)

Kelembagaan, Kekuasaan dan Konstituen 

Oleh Tony Djogo

Konphalindo Jakarta

Tulisan ini pernah di muat di Indonesian Journal for Sustainable Future Vol 1, No. 2, Desember 2005,  p 1 – 28, ISSN 1858-1692

Abstrak


Lingkungan adalah sistem  yang tidak bisa dipimpin oleh manusia. Lingkungan juga tidak memiliki suatu sistem sosial atau struktur sosial yang jelas tatananannya untuk diatur, diperintah, dipengaruhi dan dikendalikan. Orang atau lembaga memang bisa mengelola lingkungan dengan pendekatan teknis, biologis ekologis ataupun kebijakan . Bagaimana teori dan logika kepemimpinan bisa diterapkan pada sistem lingkungan jika tidak merupakan tatanan, sistem atau struktur sosial? Di dalam sistem sosial sana ada  struktur organisasi, pemimpin, konstituen, kepentingan ekonomi dan politik, ada  insentif atau disinsetif, konflik dan konsensus. Tafsiran akan kepemimpinan lingkungan sangat bervariasi baik sebagai itikad, inovasi, motivasi, pengelolaan lingkungan yang lebih baik, cita-cita kesadaran atau sekedar perhatian agar berbuat lebih baik terhadap lingkungan melalui institusi atau sistem sosial, ekonomi dan politik. Kepemimpinan lingkungan  umumnya dilihat sebagai tatanan kelembagaan dengan struktur, fungsi dan aturan main, kekuasaan dan kewenangan yang dapat mempengaruhi kondisi lingkungan, dan biasanya sumberdaya alam.  Tulisan ini membahas kepemimpinan lingkungan dari sudut institusi, kewenangan dan konstituen yang perlu ditata baik dalam institusi formal maupun informal.  Apa yang sebaiknya dibuat pada saat ini ketika kita berjuang dengan upaya desentralisasi dan devolusi tata kelola sumberdya alam dan lingkungan pada masa otonomi di satu pihak sedangkan di lain pihak harus berhadapan dengan tekanan globalisasi dan privatisasi sumber daya alam dan lingkungan dengan tingkat kerusakan yang semakin menjadi-jadi? Apa tatanan institusi, kewenangan, kekuasaan dan konstituen yang harus  dibentuk atau diubah? Bagaimana kepemimpinan lingkungan bisa bersanding dengan kepemimpinan ekonomi dan politik? Apakah kepemimpinan lingkungan bisa menjamin keberlanjutan pembangunan dan pengelolaan sumberdaya alam yang lebih baik di masa otonomi saat ini? Persoalan utama yang harus diatasi adalah tatanan kelembagaan untuk membangun mekanisme  kontrol atas kekuasaan dan kewenangan yang harus melibatkan konstituennya dalam pengelolaan lingkungan.

Pendahuluan


Cukup sulit menemukan definisi yang tepat dan menarik tentang apa itu kepemimpinan lingkungan? Istilah ini menarik perhatian tetapi di dalam berbagai tulisan, laporan penelitian, makalah dan web-site lembaga pendidikan tinggi, LSM atau badan pemerintah di beberapa negara hampir tidak ada definisi yang tepat dan yang serupa  dan  bisa diseragamkan.

Bagaimana hubungan kepemimpinan dan lingkungan? Atau pertanyaannya apakah dan bagaimana lingkungan memang memerlukan seorang pemimpin? Dari telusuran berbagai  bahan bacaan ternyata kepempimpinan lingkungan tidak hanya dalam bentuk  kinerja seorang dalam menjalankan kegiatan yang ramah lingkungan di mana orang itu menjadi pemimpinnya. Ternyata kepemimpinan lingkungan juga  mencakup  kesadaran, niat dan upaya kolektif untuk merubah cara pandang terhadap lingkungan dan melakukan yang baik sehingga lebih ramah dan bertangung jawab terhadap lingkungannya.

Ada definisi yang memperlihatkan bahwa kepemimpinan lingkungan sama dengan kesadaran lingkungan, itikad baik untuk membangun atau mempertahankan lingkungan (ELP, 2005). Ada tulisan yang memperlihatkan bahwa kepemimpinan lingkungan sama dengan perjuangan hak-hak sipil untuk menghadapi ketidak-adilan atas lingkungan dan sumberdaya alam (Garcia, 2002). Namun ada juga yang mempersoalkan bahwa kepemimpinan lingkungan tidak begitu jelas atau sulit dijabarkan dalam struktur sosial yang ada (Kansas Environmental Leadership Program, 2005). Di bidang industri, kepemimpinan lingkungan sama dengan inovasi untuk menghasilkan produk yang ramah lingkungan seperti yang dilakukan pabrik mobil Honda.   (Honda, 2006). Apa itu kepemimpinan lingkungan (environmental leadership)? Apakah ini adalah suatu model baru di bidang kepemimpinan atau sebenarnya bukan hal yang sama sekali baru tetapi menggunakan istilah baru?

Tulisan ini  mencari jalinan antara konsep kepemimpinan dan persoalan-persoalan lingkungan guna  mendapatkan kaitan antara kepemimpinan dengan lingkungan. Jika dikaitkan dengan upaya pembangunan berkelanjutan, kenyataan menunjukkan bahwa sampai hari ini terjadi perusakan sumberdaya alam dan lingkungan yang semakin menjadi-jadi. Kepemimpinan lingkungan menjadi salah satu andalan dalam mendukung upaya pembangunan berkelanjutan tetap menghadapi banyak tantangan dari sudut sosial, budaya, politik dan  ekonomi dan teknologi.   Di sini dikaji  peluang dan tantangan sumbangan kepemimpinan lingkungan untuk pembangunan berkelanjutan dari sudut insitusi, kekuasaan dan konstituen lingkungan yang  dikaitkan dengan persoalan otonomi daerah. Tulisan ini melihat bahwa konflik kewenangan dan kekuasaan, proses fargmentasi konstituen ke dalam berbagai institusi atau sistem sosial dan politik baru memberikan beban yang semakin berat dalam pengembangan kepemimpinan lingkungan. Bagaimana kepemimpinan lingkungan bisa bersanding dengan kepemimpinan ekonomi dan kepemimpinan politik? Apa alat dan mekanisme kontrol  atas kekuasan dna kewenangan yang perlu dibangun agar semua pihak bisa menjalankan kepemimpinan lingkungan yang dicita-citakan?

Kepemimpinan dan Lingkungan


Ketika terjadi kegagalan atau keberhasilan suatu sistem, institusi atau organisasi baik di pemerintahan, di kampus, swasta atau lembaga bukan pemerintah dan bahkan di dalam keluarga dan sebagainya penilaian orang selalu dimulai dari penilaian atas pemimpin dan kepemimpinannya. Isu kunci dalam kepemimpinan adalah siapa pemimpin dan karakternya, organisasi  berupa struktur dan fungsi organisasi,  kemampuan organisasi dan manajerial, aturan main termasuk mekanisme kontrol, mekanisme dan infrastruktur kelembagaan, kekuasaan dan kewenangan dan yang penting juga adalah siapa konstituen yang harus dipimpin. Kepemimpinan di jaman sekarang diukur kinerjanya di akhir masa jabatan periode kepemimpinan seseorang. Misalnya Presiden, Gubernur atau Bupati dalam bentuk LPJ, atau dalam institusi lain berbentuk laporan akhir masa jabatan dan di lembaga penelitian dan swasta  moderen menggunakan performance contract dan performance appraisal. Sering juga terdengar kalangan organisasi bukan pemerintah atau aktivis politik mendesak diperlukannya kontrak sosial atau kontrak politik sebuah lembaga atau seseorang pemimpin untuk memperlihatkan tanggung jawab, moral dan akuntabilitas mereka dalam suatu sistem kepemimpinan.

Bagaimana pertanggung-jawaban pemimpin lingkungan dan kepemimpinannya diukur? Dalam dimensi apa keberhasilan atau kegagalan kepemimpinan diukur? Apa tolok ukur dan cara penilaiannya? Sulit mendapatkan contoh kepemimpinan formal negara atau pemerintah kita yang menempatkan persoalan lingkungan bukan hanya sebagai isu penting tetapi juga dijabarkan dalam kebijakan dan pelaksanaan pembangunan yang seimbang. Walaupun semua orang tahu  pentingnya lingkungan, sulit bagi para pemimpin, pejabat dan staf pemerintah untuk dapat  menjalankan kebijakan di bidang lingkungan  hidup secara baik.  Perhatian yang terlalu besar pada lingkungan hidup akan merupakan trade off serius jika tidak ingin mengorbankan pembangunan industri dan ekonomi. Kepemimpinan pemerintah daerah dan Pusat  kita biasanya tidak memasukan penilaian kinerja lingkungan di dalam  pemeriksaan/inspeksi atau audit administrasi dan keuangan dan di  laporan akhir jabatannya.

Kepemimpinan lingkungan menjadi tugas dan kewajiban semua orang. Karena itu setiap  orang bisa menjadi pemimpin lingkungan. Yang menjadi persoalan adalah tidak semua orang bisa jadi pemimpin lingkungan, tergantung pada media dan konstituennya, kewenangan, kekuasan dan yang lebih penting adalah persoalan lingkungan yang akan diatasi.

Visi kepemimpinan lingkungan sering dinyatakan merubah kultur (budaya) di dalam suatu sistem pengelolaan lingkungan (bisa pengelola kawasan konservasi, rehabilitasi hutan, atau penanganan lingkungan di dalam suatu pabrik) sehingga para staf dan karyawan mempunyai keinginan untuk menjalankan kegiatan atau usaha dan bisnis mereka dengan cara-cara yang bertanggung jawab demi lingkungan.

Kemampuan kepemimpinan seseorang tanpa mendapat dukungan luas dari konstituen di bawahnya tidak akan berarti banyak. Kepemimpinam lingkungan tradisional muncul atau kuat posisinya karena adanya institusi tradisional yang mendukungnya. Kepemimpinan bisa muncul dalam diri perorangan tetapi bisa kokoh jika ada institusi dan dukungan masyarakat dengan aturan dan organisasi, juga karena adanya kekuasaan dan kewenangan. Adapula kepemimpinan yang muncul, dihargai atau dihormati  bukan karena kekuasaan dan kewenangan tetapi karena kharisma, pendidikan, kepekaan, keteladanan dan ketokohan yang tidak harus dimediasi dalam suatu institusi.

Lingkungan menyangkut berbagai hal. Tergantung di negara mana orang berbicara lingkungan, apa lingkungan sekitarnya, apa kepentingannya dan apa politiknya juga. Misalnya di negara maju lingkungan menyangkut polusi udara, pemanasan global, corporate social responsibility, pencemaran air, environmental justice, public health, kesehatan lingkungan (environmental health), perencanaan  transportasi,  pembangunan ekonomi dan pembangunan masyarakat,  pengorganisasian masyarakat dan sebagainya.  Di negara berkembang isu lingkungan lebih kompleks yang juga menyangkut erosi, kesuburan tanah, longsor, banjir, sampah, air, tambang dan sebagainya.

Penanganan isui-isu ini bisa dilakukan oleh lembaga-lembaga yang sangat tergantung pada spesialisasinya, ruang lingkup kerja, kapasitas dan kewenangannya. Lembaga penelitian dan pendidikan mungkin tidak menangani secara teknis tetapi lebih memusatkan perhatian pada penelitian, dukungan pembuatan atau reformasi kebijakan.

Kepemimpinan lingkungan  sering pula identik dengan environmental management system atau environmental responsibility. Karena itu di berbagai media atau website lembaga pendidikan atau nirlaba sering ada penggunaan pengertian ini untuk menunjukkan bahwa kita seharusnya memperlihatkan kepemimpinan atau semangat untuk membangun sesuatu yang lebih bertanggung jawab untuk lingkungan. Environmental leadership tidak harus diterjemahkan sebagai kepemimpinan lingkungan tetapi suatu niat, semangat, kesadaran, motivasi,  komitmen, cita-cita,  daya juang untuk berbuat sesuatu demi lingkungan. Artinya jika ada pabrik yang menghasilkan polusi udara dan air, maka harus dibangun motivasi, kesadaran yang mengubah kinerja pabrik yang tidak sekedar menghasilkan produk yang laku di pasar tetapi ramah lingkungan. 

Kepemimpinan Lingkungan di Dunia Kampus dan Lembaga Penelitian


Kepemimpinan lingkungan bisa dibangun dalam sebuah lembaga pendidikan tinggi. Misalnya dengan membangun kerangka pikir intelektual, sistem penelitian, pengabdian pada masyarakat atau pembangunan masyarakat dan pendidikan dan latihan bagi perorangan atau lembaga lain sehingga bisa mengarahkan atau memimpin sebuah  komunitas atau lembaga untuk menggunakan sumberdaya alam, sumberdaya teknologi dan sumberdaya manusia yang kemudian membantu memecahkan masalah-masalah populasi, pengelolaan sumberdaya alam, kerusakan lingkungan dan perubahan sosial yang berkaitan dengan perubahan lingkungan. Istilah umum yang bisa digunakan adalah membangun system pendidikan lingkungan dan kesadaran lingkungan (environmental awareness). Dengan kata lain, sistem pendidikan bisa membangun kepemimpinan atau memperkuat peran pemimpin dalam meningkatkan pelayanan, pemeliharaan  dan penanganan persoalan lingkungan.

Kenyataan menunjukkan bahwa pusat-pusat studi lingkungan di kampus lebih banyak melakukan pendidikan, penelitian atau menjadi konsultan penilaian lingkunan. Hasil-hasil penelitian juga sering sulit diterjemahkan ke dalam kebijakan, progam, proyek  dan teknologi. Apa yang lebih banyak dilakukan juga adalah pendidikan dan penyuluhan. Karena itu focus kepemimpinan lingkungan harus diperbaiki untuk lebih pragmatis atau dikembangkan dalam suatu mekanisme kelembagaan yang memungkinkan kerjasama dengan pihak lain yang lebih praktis orientasi kerjanya.

Kampus dan lembaga pendidikan sering gagal mempengaruhi kebijakan atau membangun kesadaran lingkungan pada  wilayah dan masyarakat yang bukan menjadi konstituen mereka tetapi lebih merupakan  target group untuk transformasi dan transfer  informasi dan pengetahuan.  Mekanisme kelembagaan dan informasi yang dibangun sering tidak cocok untuk dipakai atau terlalu tinggi bahasanya untuk diterjemahkan menjadi teknologi atau  kebijakan. Proses perubahan kesadaran lingkungan baik di kalangan masyarakat maupun lembaga pemerintah dan swasta cenderung gagal 

Kepemimpinan Lingkungan Swasta


Perusahaan swasta  dapat memperlihatkan kepemimpinan lingkungan (tanggung jawab terhadap lingkungan) dengan melakukan investasi, inovasi untuk tindakan dan  perbaikan  teknologi dan sistem operasi industri menjadi lebih ramah lingkungan atau paling tidak memperlihatkan komitmen yang baik terhadap lingkungan. Ada tolok ukur yang dibuat snatdar dan kriterianya.

Di Indonesia instrumen dan tolok ukurnya dapat dinyatakan dalam AMDAL, PROPER atau ISO (Sistem Manajemen Lingkungan ISO 14001  dan ISO 17025).  ISO-14001 adalah Sistem Manajemen Lingkungan yang bersifat sukarela. Oleh karena itu, tanpa komitmen perusahaan, ISO-14001 tidak akan memberikan arti sebenarnya dalam menurunkan dampak negatif  dari operasi perusahaan  terhadap lingkungan. Meskipun bersifat sukarela banyak perusahaan menganggap ISO-14001 sebagai  suatu keharusan. Pasar dunia semakin ketat menerapkan proses seleksi terhadap produk-produk dengan menggunakan tolok ukur Environmentally Preferrable Product. Selain itu, semangat menerapkan ecolabeling pun semakin tidak bisa dihindari lagi. Selain menerapkan ISO 14001, dalam rangka lebih menjamin kehandalan mutu pengukuran lingkungan, perusahaan-perusahaan  berjuang mendapatkan sertifikasi ISO 17025 atas Laboratorium Uji Lingkungan dari Komite Akreditasi Nasional (KAN).

Banyak perusahana industri manufaktur di Jepang mengandalkan control terhadap kinerjanya dengan menggunakan akuntansi lingkungan  (envronmental accounting)  dan sebagian mulai khusus mengembangkan kepemimpinan lingkungan (environmental leadership) juga. Kepemimpinan lingkungan dinyataan sebagai inovasi untuk mengembangkan produk baik mobil, air conditioner (AC), mesin-mesin lain dan produk makanan yang lebih ramah dan sehat  dari sudut pandang lingkungan.

Di dunia swasta yang diperlukan dari seorang pemimpin umumnya  adalah bukan hanya ketegasan dan kedisiplinan kepemimpinan dan pemimpinnya karena sudah jelas struktur organisasi dengan fungsi, proses dan output yang sudah pasti terukur. Sudah ada standar operating procedure yang harus diikuti oleh semua orang jika tidak ingin performancenya dinilai jelek oleh perusahaan. Yang umumnya diperlukan di dalam kepemimpinaan swasta adalah inovasi teknologi untuk mutu yang lebih baik, strategi komunikasi, investasi, promosi, pemasaran. Sistem berjalan walaupun pemimpin tidak berada di kantor. Hal ini kontras dengan sistem manajemen dan kepemimpinan di dalam organisasi pemerintah.

Kepemimpinan Lingkungan Lembaga  Bukan Pemerintah (Masyarakat Madani, LSM dan Ornop)


Cara pandang terhadap kepemimpinan lingkungan juga sangat tergantung pada bidang lingkungan apa yang menjadi pusat perhatian ahli lingkungan (environmental scientists) pemerhati (environmental observers) dan aktivis  lingkungan (environmental activists) orang yang mempromosikan persoalan lingkungan.  Seorang aktivis lingkungan yang anti produk GMO atau transgenik dan anti penggunaan bahan kimia dalam sistem pertanian intensif  akan memusatkan persoalan kepemimpinan lingkungan dengan kampanye dan advokasi, menghimbau dan mengajak orang lain untuk membeli produk hijau  (green products) organic dan non-transgenic serta mengembangkan pertanian organik

Seseorang yang sangat memperhatikan persoalan sampah akan memperlihatkan kepemimpian lingkungan dengan mengajak dan membangun sistem pembuangan sampah yang sehat. Orang yang prihatin dengan kerusakaan hutan dan ekosistem lain akan memberikan dorongan kepada orang lain untuk menanam pohon atau mengajak dan menghimbau orang lain atau lembaga lain tidak merusak hutan melalui penebangan yang tidak sah.

Kepemimpinan Lingkungan Tradisional 


Kepemipinan lokal dan tradisional yang mendukung pelestarian  lingkungan banyak terdapat di Indonesia, namun tidak banyak diungkapkan atau dinyatakan sebagai kepemimpinan lingkungan. Paling tidak sebagian bisa dikaitkan dengan kelembagaan dan kepemimpinan tradisional. Kepemimpinan lingkungan dapat dibangun atau sudah eksis di dalam sebuah masyarakat tradisional atau masyarakat dan institusi pedesaan.

Misalnya bisa kita lihat dalam kasus Desa Alang-Alang di Tanjung Jabung, Jambi. Ketika kita memasuki desa ini dari laut Selat Malaka kita akan menelusuri sungai kecil yang menuntun kita menuju desa yang dikelilingi bakau dan nipah yang rimbun dan terawat. Masyarakat desa yang penduduknya mungkin seratus persen keturunan Sulawesi Selatan ini memiliki seorang Kepala Desa yang mempunyai wasasan dan kepemimpinan yang menakjubkan khusus dalam hal pelestarian bakau dan nipah. Padahal beliau tidak memiliki pendidikan khusus di bidang lingkungan, khususnya dalam bidang ekosistem pantai, bakau atau nipah. Apakah ini sebuah kepemimpinan lingkungan?

Kepala Desa memimpin masyarakat untuk tidak merubah ekosistem bakau menjadi tambak atau masyarakat dilarang keras merusak hutan bakau dan nipah. Bahkan dengan swadaya masyarakat, dikembangkan program penanaman bakau yang kemudian menarik minat dan perhatian pemerintah sehingga mendapat bantuan dari pihak kehutanan (BRLKT yang kini berubah menjadi BPDAS) dan pemerintah daerah untuk pengembangan pesemaian anakan bakau. Penduduk di sini bahkan mengembangkan sistem pemeliharaan kepiting yang memadukan empang parit dengan tanaman bakau sebagai penyangga parit.

Kepemimpinan lingkungan tradisional bisa muncul juga di kalangan lembaga agama yang memadukan antara pengembangan keagamaan dikaitkan dengan iman dan lingkungan. Hal ini ddapat dilihat dalam pendidikan islam di pesantren, lembaga keagamaan Kristen atau dikaitkan dengan agama dan budaya di kalangan umat Hindu. Keserasian dengan alam menjadi salah satu factor penting yang disebuat bahwa lingkungan dan kebersaihan sebagai bagian dari iman.

Kepemimpinan lingkungan juga muncul di dalam sinergi institusi agama dan institusi pemerintah kabupaten. Misalnya pada tahun 1960-an seorang pemimpin agama di Kabupaten Sikka Flores merintis  pengembangan tanaman lamtoro sebagai bagian dari upaya konservasi  tanah dan air yang berhasil merubah sistem pertanian lahan kering berbasis tanaman jagung menjadi sistem produksi  perkebunan rakyat dengan tanaman coklat, vanili, cengkeh, kopi, kelapa dan kemiri. Dalam dua puluh tahun terjadi perubahan lingkungan yang sangat menakjubkan. Pemimpin agama  ini tidak bekerja sendiri tetapi membangun sinergi dengan Pimpinan Dinas Pertanian Kabupaten dan mendapat dukungan dari masyarakat atau umatnya. Kepemipinan lingkungan di sini tidak didasarkan pada GBHN, program dan rencana kerja, strategi  SOP atau PROTAP suatu institusi formal pemerintah tetapi karena adanya kepemimpinan yang alamiah yang responsif terhadap kondisi alam dan kebutuhan masyarakat petani yang ada di dalam pribadi-pribadi pemimpin yang saling bersinergi kemudian mendapat dukungan masyarakat luas.

Bagi masyarakat  tradisional di Kalimantan, lingkungan adalah hutan, tanah dan air dengan produk bukan kayu, hewan buruan, ikan di sungai. Mereka memiliki institusi dan tidak mempersoalkan etika dan kepemimpinan lingkungan karena perilaku kolektif, kebutuhan dasar, ada norma dan etika dan aturan tradisional sudah ada di mana mereka tidak akan mengambil sumber alam melebihi daya dukungnya sampai hutan dan alam mereka dijarah pihak luar.

Hal yang sama juga dapat dilihat dalam masyarakat tradisional di berbagai daerah baik di Jambi, Maluku, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi dan lain-lain yang memiliki institusi tradisional yang sudah pasti memiliki kepemimpinan. Kepemimpinan ini pasti memiliki unsur-unsur kearifan tradisional yang memperhatikan lingkungan. Apakah ini juga disebut kepemimpinan lingkungan?

Kepemipinan Lingkungan Pemerintah Daerah

Kepemimpinan lingkungan pemerintah daerah dalam masa otonomi daerah semakin runyam. Kebanyakan orang tahu bahwa proses pemberian otonomi daerah membuat pemerintah daerah (terutama Kabupaten) lebih memusatkan perhatian pada pembangunan kekuasaan, kewenangan, memusatkan perhatian pada ekonomi (penguasa dan pemerintah) dan politik daripada sosial dan lingkungan.

Khusus dalam bidang konservasi, lingkungan dan sumberdaya alam, persoalannya menjadi lebih kompleks karena peraturan perundangan membuat pemerintah daerah lepas tangan karena tidak memiliki kewenangan dan tanggung jawab dan tidak mendapat insentif yang berarti secara ekonomi dan politik. Peraturan perundangan memusatkan kewenangan konservasi  di angan pemerintah pusat kecuali untuk hutan lindung. Kenyataan juga menunjukkan bahwa hutan lindung juga dihabisi untuk kepentingan ekonomi. Logis bahwa di kawan hutan lindung dan kawasan konservasi ada sumberdaya hutan yang potensial karena tidak dijamah selama bertahun-tahun.

Dari berbagai bacaan didapatkan unsur kepemimpinan lingkungan bisa terdiri dari sikap dan perilaku serta tindakan dalam bentuk: 1). Taat dan memantuhi hukum  atau peraturan perundangan bidang lingkungan, 2). Melakukan tindakan pencegahan perusakan lingkungan,  3) Mencari cara-cara dan implementasi model pembangunan berkelanjutan, 4) Memberikan informasi dan pendidikan lingkungan kepada orang di sekitar kita dan orang lain dalam hal  persoalan dan penanganan masalah lingkungan, 5). Mencari dukungan dan mendukung reformasi atau perubahan kebijakan di bidang lingkungan. 6). Melakukan perubahan sistem manajemen dan proses produksi di dalam sebuah industri atau bisnis yang  ramah lingkungan atau mempunyai kinerja yang bersahabat dengan lingkungan, 7) Membangun kesadaran dan komitment terhadap lingkungan

Kepemimpinan, Linkgkungan, Institusi dan Konstituen


Kepemimpinan lingkungan biasanya muncul karena adanya persoalan serius di bidang lingkungan atau pembangunan yang berdampak pada lingkungan. Contohnya ketika ada pabrik oli, pabrik minyak sawit, pabrik semen  yang dinyatakan menghasilkan dampak buruk pada lingkungan, akan timbul reaksi dari pemilik pabrik atau masyarakat yang menjadi korban pencemaran. Reaksi ini bisa ditanggapi dengan membangun kesadaran dan sistem  pengolahan limbah yang ramah lingkungan. Reaksi juga bisa tidak muncul dari pemilik pabrik jika tidak ada tuntutan karena pelanggaran hukum lingkungan atau karena ada korban yang menderita karena pabrik tersebut.

Tindakan, sikap dan perilaku yang berubah di dalam sebuah pabrik menunjukkan adanya kepemimpinan lingkungan. Namun  ada pula yang berpendapat bahwa kepemimpinan lingkungan  yang ditunjukkan sebuah perusahaan tidak sekedar memenuhi peraturan perundangan tetapi harus memperlihatkan komitmen yang lebih besar dari perusahaan tersebut untuk mengeluarkan uang ekstra dan mengalokasikan sumberdaya yang perlu untuk berbuat jauh lebih banyak daripada sekedar mentaati apa yang diatur oleh peratuan perundangan. Dalam hal ini ada upaya ekstra yang sukarela untuk memperbaiki kinerja perusahaan terhadap lingkungan menjadi lebih baik. Biaya untuk penanganan persoalan lingkungan dimasukkan sebagai biaya operasional yang akan diperhitungkan juga manfaat (benefit) dan keuntungan (profit) secara financial, ekonomi dan social.

Berbagai lembaga pendidikan memusatkan perhatian pada mengembangkan teori kepemimpinan dalam penanganan lingkungan. Ada berbagai teori kepemimpinan yang bisa dipelajari untuk diterapkan pada penanganan persoalan lingkungan. Namun yang paling penting diingat adalah bahwa lingkungan itu sendiri tidak bisa dipimpin atau dipengaruhi oleh kepemimpinan seseorang. Karena lingkungan adalah benda mati dan bukan konstituen dari suatu sistem organisasi, kelompok atau partai. Menurut teori kepemipinan adalah bagaimana membuat orang lain berbuat sesuai dengan apa yang diinginkan atau diperintah  oleh pimpinan. Jadi kepemimpinan lingkungan pada dasarnya adalah  bagaimana kita  memimpin, bersikap dan bertindak sehingga orang lain mau berbuat baik untuk lingkungan.

Di sini ada struktur sosial di mana ada yang diperintah dan diatur, misalnya dalam konteks militer, institusi, atau sistem sosial industri  sebagaimana ada di berbagai negara. Para pekerja, buruh, pemimpin militer, dosen, pegawai, dan institusi membutuhkan disiplin, perintah, instruksi dan efisiensi yang harus terus ditingkatkan. Setiap orang atau kelompok harus digerakkan untuk mencapai tujuan dan sarana yang ditetapkan.

Kepemimpinan memerlukan  dukungan konstituen yang kuat, berkelanjutan dan kolaboratif. Tanpa adanya dukungan konstituen kepemimpinan seseorang atau insitusi sudah dianggap lemah. Bagaimana konstituen di dalam kepemimpinan lingkungan dipimpin, di atur?

Sampai sekarang konstituen lingkungan sepertinya didominasi oleh aktivis lingkungan, masyarakat miskin, kaum akademik, individu lembaga pemerintah dan lembaga masyarakat madani yang prihatin dengan persoalan lingkungan. Perasalannya mekanisme kelembagaan, kepemimpinan, ekonomi dan politik serta factor-faktor sosial dan teknologi tidak mudah mendukung mereka dalam suatu sistem. Memang tidak mungkin karena orang dan lembaga ini berada dalam berbagai institusi atau pranata yang sulit dipersatukan. Ada perbedaan kepentingan, motivasi, perilaku atau sikap serta insentif antara berbagai konstituen ini. Mereka hanya bisa dipersatukan melalui perdebatan dan pertukaran informasi atau supply dan demand informasi tergantung misi dan motivasi masing-masing institusi atau perorangan.

Di dalam kepemimpinan diperlukan seorang pemimpin (manajer, direktur, atasan dan sebagainya) untuk mencapai tujuan tertentu melalui  usaha dan kegiatan orang lain. Pemimpin tidak mungkin melakukan sendiri. Konstituennya harus dipimpin, dikoordinasi, digerakkan, diberi motivasi secara berkelanjutan. Bagaimana mungkin hal ini diterapkan di bidang lingkungan? 

Persoalan penting yang dihadapi di sini adalah bahwa perumusan sasaran dan tujuan dengan keluaran dan dampak yang jelas tidak terumuskan dalam satu atau beberapa tujuan  dan sasaran kolektif di mana untuk mencapai tujuan dan sasaran itu semua pihak bisa bekerja sesuai dengan lembaga dan kemampuannya walaupun berada dalam institusi yang berbeda-beda. Ada fungsi-fungsi manajerial yang tidak bisa dikontrol untuk dilaksanakan oleh konstituen yang terpecah-pecah ke dalam berbagai institusi, wadah atau pranata.

Otonomi Daerah: Kekuasaan versus Kewenangan


Pemberian otonomi daerah melalui proses desentralisasi, dekonsentrasi dan devolusi atau proses-proses lainnya menarik menjadi bahan diskusi tetapi pelaksanaannya di lapangan menghasilkan dampak dan implikasi yang rumit. Negara ini masih dalam tahap belajar membagi  dan mendelegasikan kewenangan dan kekuasaan  kepada pemerintah daerah.

Hubungan antara kepemimpinan lingkungan dengan otonomi daerah  harus dilihat dalam beberapa dimensi: kewenangan, kekuasaan dan insentif. Banyak aktivis lingkungan yang mempersoalkan lingkungan tetapi pihak yang dikritik (pemerintah kabupaten, swasta dan perorangan) tidak merasakan adanya manfaat melakukan perubahan apalagi ditingkat pemerintah daerah. Para pengeritik dianggap idealis sedangkan pemerintah dan swasta menganggap diri pragmatis dan realis karena menghasilkan uang untuk daerah da pembangunan. Pemerintah dan swasta memiliki kewenangan dan kekuasaan sedangkan pengeritik tidak.

Sudah menjadi bahan diskusi umum bahwa dengan otonomi, pemerintah daerah merasa lebih berkuasa dan menekankan pada penerimaan daerah, pembangunan ekonomi dan fisik dibandingkan dengan pembangunan lingkungan, pembangunan sosial  dan pembangunan yang memihak masyarakat miskin. Bahkan pembangunan kelembagaanpun cenderung diabaikan dalam otonomi daerah.

Kepemimpinan dalam pemerintahan otonomi cenderung menjadi  perebutan antara pihak-pihak yang mempunyai interest bisnis dan politik. Di beberapa daerah ada proses transisi menarik di mana pimpinan organisasi bukan pemerintah berhasil mendapatkan posisi penting sebagai pemimpin daerah. Di banyak daerah juga banyak pengusaha berhasil mendapatkan poisisi ini, bukan hanya orang-orang pemerintah saja seperti di masa lalu. Namun ketika mereka berada dalam sistem pemerintahan mereka tidak bisa berbuat banyak walaupun ada itikad dan kemampuan untuk melakukan perubahan di bidang lingkungan.

Di berbagai daerah yang memiliki sumberdaya alam yang melimpah seperti kayu, pasir, air, tambang, ikan dan sebagainya menjadi sasaran investasi dan eksploitasi oleh swasta. Swasta  menggunakan segala cara sehingga bisa mendapatkan kekuasaan untuk eksploitasi. Kontrol pemerintah daerah sangat lemah karena kontrak dan negosiasi bisnis memberikan keuntungan kepada perorangan daripada lembaga dan masyarakat. Di sinilah peluang yang dimasuki oleh pihak swasta.  Kenyataan menunjukkan bahwa desentralisasi yang seharusnya mentransfer sebagian kewenangan kepada pemerintah daerah malah mengalihkan sebagian kekuasan kepada (direbut) swasta.

Ada berbagai faktor yang menyebabkan pelaksanaan otonomi daerah sulit terlaksana dengan baik. Pada masa sebelumnya, pemerintah daerah sangat tergantung pada sistem perencanaan dan anggaran yang terpusat. Pemimpin daerah hanya melaksanakan keinginan pusat. Ketika pemerintah daerah harus melaksanakan sendiri  banyak persoalan yang muncul. Pemerintah daerah merasa harus mencari uang sendiri dalam jumlah yang sebanyak-banyaknya termasuk melalui retribusi, pajak-pajak baru yang bertentangan dengan aturan pemerintah pusat bahkan tumpang tindih dengan pemerintah daerah lain. Pemerintah daerah juga menuntut sebanyak-banyaknya dari pemerintah pusat untuk DAU dan DAK apalagi jika mereka memiliki sumberdaya alam yang berlimpah yang sebelumnya lebih dinikmati pemerintah pusat.

Desentralisasi juga harus berhadapan dengan privatisasi sumberdaya yang tidak selamanya menguntungkan pemerintah dan masyarakat daerah. Apalagi privatisasi juga bersifat global dimana perusahaan-perusahaan asing memiliki kekuasan dalam bentuk uang, teknologi dan informasi yang melebihi kemampuan pemerintah daerah bahkan pemerintah pusat sekalipun.

Ada berbagai upaya terutama yang didorong oleh organisasi bukan pemerintah dan lembaga donor untuk membantu pemerintah daerah memperhatikan konservasi sumberdaya alam dan memperhatikan perbaikan kehidupan masyarakat lokal. Namun sulit mendapatkan dukungan dari daerah karena tidak ada mekanisme kelembagaan dan instrumen yang jelas. Juga pemerintah daerah tidak merasa mendapatkan insentif dari pelaksanaan konservasi dan pembangunan ekonomi rakyat miskin. Karena itu itikad dan kebijakan yang berorientasi kepada lingkungan sulit dilaksanakan. Apalagi peraturna pemerintah lebih membebankan pemerintah pusat untuk menangani persoalan konservasi dan lingkungan.

Namun ada mekanisme kontrol dan mekanisme akuntabilitas yang semakin baik dikembangkan. Peranan legislatif semakin baik dan itikad pemerintah pusat yang melaksanakan penegakan hukum memberikan harapan yang semakin baik walaupun belum begitu berhasil. Yang penting juga adalah penyusunan dan penggunaan tolok ukur kinerja pejabat, pimpinan unit atau instansi, pemerintah daerah dan masyarakat yang melibatkan unsur-unsur pembangunan lingkungan. Yang menjadi kebutuhan mendesak saat ini adalah penyusunan dan perancangan alat-alat dan mekanisme kontrol kinerja lingkungan untuk setiap institusi dan konstituen yang berkepentingan dan harus bertanggung jawab terhadap lingkungan.

Beberapa Langkah Yang Bisa Ditempuh 



Sejauh ini berbagai kebijakan, politik dan model pembangunan masih dipertanyakan sumbangannya bagi pembangunan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan. Semakin banyak pembangunan berkelanjutan diteliti, dibahas dan direncanakan semakin besar  pula tingkat kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan. Ada korelasi negatif antara  intensitas penelitian dan wacana sampai dengan pengembangan ilmu lingkungan maupun tekanan  kalangan masyarakat madani dibandingkan dengan meningkatnya eksploitasi sumberdaya alam dan kerusakan atau berkurangnya tingkat keberlanjutan pembangunan. Sering muncul sikap sinisme atau apriori terhadap keberadaan lembaga-lembaga yang melakukan penelitian dan pengembangan, pengembangan ilmu  atau lembaga yang seharusnya mendukung pembangunan berkelanjutan baik oleh pemerintah, swasta, organisasi bukan pemerintah, lembaga pendidikan dan penelitian. Kritik terhadap program dan kebijakan pemerintah di bidang lingkungan juga cukup kuat dalam beberapa tahun terakhir ini. Kalangan kampus dan lembaga penelitian dianggap mandul dalam penanganan persoalan lingkungan.


Di dalam pengelolaan lingkungan dan pembangunan tantangan yang dihadapi sangat dan semakin besar. Terutama akibat kekuatan pasar, globalisasi, privatisasi, ekonomi, industri dan perdagangan maupun politik walaupun semakin banyak pula pendekatan dan model yang dikembangkan untuk memahami hubungan antara lingkungan dengan persoalan-persoalan ini selain kepemimpinan lingkungan. Pendekatan baru antara antara lain dalam bentuk manajemen lingkungan dengan menerapkan corporate social responsibility, sertifikasi, akuntansi lingkungan (environmental accounting), keadilan lingkungan (environmental justice), adopsi mekanisme keuangan dalam pengelolaan lingkungan dan penilaian lingkungan lainnya. Demikian pula melalui institusi  terutama aturan dan organisasi internasional dalam bentuk konvensi, protokol, kerjasama, kesepakatan dan aturan main lainnya.

Persoalan disini adalah perlunya memahami politik baik politik sumberdaya alam maupun lingkungan. Ada persoalan ekonomi politik yang sangat serius  yang cenderung memihak pada pemodal besar, kapitalis dan pasar. Model-model pembangunan berkelanjutan, pembangunan berbasis masyarakat atau pembangunan yang berpihak pada masyarakat miskin hampir sulit dikatakan berhasil dilaksanakan  di Indonesia. Eksploitasi sumberdaya alam, privatisasi dan penentuan atau pengendalian harga produk sumberdaya alam menjadi penentu utama keputusan dan ekonomi politik lingkungan.

Ada pertentangan antara kekuasaan dan kewenangan yang harus dipahami di sini. Negara yang memiliki kewenangan pengelolaan negara dan sumberdaya alamnya bisa atau sering tidak memiliki kekuasaan atas sumberdaya itu. Hal ini sudah terjadi di mana-mana dan banyak contohnuya. Misalnya penguasaan atas sumberdaya tambang, sumber daya air, laut, hutan, pasir  dan perikanan. Pemegang kewenangan (authority) bisa dikendalikan oleh pemegang kekuasaan (power) dalam bentuk uang, ekonomi atau pasar. Bahkan swasta dan kekuasaan dan uangnya mau membuang sampah, membeli pasir dari  Indonesia, menangkap ikan secara illegal dan terlibat dalam perdagangan kayu ilegal di Indonesia dan melangkahi kewenangan negara dan pemerintah.

Kewenangan memerlukan institusi dalam bentuk organisasi dan aturan main. Selain itu kode etik dan kepemilikan dan penguasaan atas sumberdaya alam atau faktor produksi  didukung oleh mekanisme kelembagaan dan infrastruktur kelembagaan merupakan unsur-unsur kelembagaan yang penting dalam mendukung kepemimpinan atau sebaliknya ditentukan oleh kepemimpinan yang baik atau buruk. Unsur-unsur  kelembagaan semakin dinilai secara ekonomis daripada social dan moral. Misalnya hak dan akses atas sumberdaya alam lebih dinilai sebagai elemen ekonomi daripada elemen social, budaya dan moral.

Proses penguasaan  atas sumberdaya alam oleh berbagai perusahaan dan negara asing sudah berlangsung ratusan tahun di Indonesia dengan dampak negatif pada masyarakat, lingkungan dan sumberdaya alam. Hasil sumberdaya alam dinikmati oleh perusahaan dan aparat pemerintah yang bekerjasama dalam institusi informal namun sangat berkuasa.
Tidak ada model pembangunan lingkungan yang berhasil dengan memuaskan yang dihasilkan melalui rancangan ilmiah  untuk pemerintah mengeluarkan kebijakan dan  keputusan politik pemerintah untuk memberikan manfaat yang lebih besar bagi masyarakat lokal dan ramah terhadap lingkungan.

Salah satu penyebab kegagalan negara adalah kegagalan  kelembagaan (institusi). Kelembagaan yang baik biasanya menghasilkan kebijakan, pelaksanaan dan kinerja yang baik. Tetapi sebaliknya kebijakan yang baik tidak akan berhasil tanpa didukung oleh kelembagaan yang baik. Kelembagaan dan kebijakan tanpa kepemimpinan yang kuat dan efektif juga tidak akan menghasilkan model pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam yang berkelanjutan. Kelembagaan berkaitan erat dengan kewenangan dan kekuasaan.

Pertanyaan kunci yang bisa diangkat dalam kritik terhadap teori dan konsep kepemimpinan lingkungan adalah siapa konstituen dan bawahan dari kepemimpinan lingkungan? Lingkungan tidak mungkin dipimpin oleh seseorang karena lingkungan adalah benda mati. Jadi harus dilakukan melalui kepemimpinan terhadap orang, lembaga lain dan kerjasama  antara lembaga yang didukung oleh infrastrukur dan mekanisme kelembagaan. Orang, lembaga, mekanisme dan institusi ini yang akan menjadi sistem untuk mengelola lingkungan yang baik dan sehat.

Persoalan penting yang penting diangkat di sini adalah bagaimana kepemimpinan didukung oleh kelembagaan yang kuat yang bisa mengurangi pertentangan kekuatan antara kewenangan dan kekuasaan. Persoalan berikutnya adalah diperlukannya aturan kelembagaan, instrumen dan alat pengendali yang dapat digunakan sebagai mekanisme kontrol pemerintah dan lembaga lainnya dalam menjalankan organisasi dan tujuannya tanpa dampak negatif pada lingkungan. Instrumen ini digunakan untuk mengukur dampak yang dihasilkan lalu membuat tindakan yang mengurangi dampak dan jika mungkin memberikan manfaat ekonomi bagi lembaga atau masyarakat.

Terminologi kepemimpinan lingkungan sendiri belum begitu populer di Indonesia sampai saat ini. Walaupun demikian sudah ada unsur dan model kepemimpinan lingkungan yang memerlukan penguatan dan penerapan di tempat lain. Bentuk integrasi kepemimpinan lingkungan kedalam sistem kepemimpinan yang ada baik lokal, informal atau formal menjadi salah satu pertanyaan kunci penting juga.

Otonomi daerah yang diharapkan menjadi kesempatan untuk proses pendelegasian kewenangan dan kekuasaan ternyata berubah menjadi medan perebutan kekuasaan dan kewenangan. Tahap-tahap awal otonomi daerah cukup sulit dihadapkan dan bahkan menunjukkan adanya tekanan terhadap lingkungan yang sangat luar biasa. Pemerintah daerah cenderung memusatkan perhatian pada penerimaan daerah dengan resiko atau implikasi apapun pada lingkungan yang harus ditanggung oleh rakyat dan alam sekitranya.

Jika pemerintah  pusat ingin memperoleh sistem kepemimpinan yang berorientasi lingkungan, maka dukungan dari pemerintah daerah sangat mutlak diperlukan. Sering terjadi kebijakan pemeritah pusat baik sektoral maupun terpadu tidak ada artinya di daerah jika ada penolakan dari daerah karena kepentingan daerah, kepentingan politik dan kepentingan institusi atau lembaga tertentu terganggu. Sebaliknya  juga pembuatan kebijakan dan pelaksanaan program-program lingkungan di daerah tidak dapat berjalan tanpa dukungan pemerintah pusat.  Kebijakan-kebijkan pemerintah pusat yang cenderung memberikan kewenangan dan tanggung jawab pada pemerintah pusat untuk urusan konservasi dan pelestarian lingkungan pada lembaga pemerintah pusat melalui lembaga dekonsentrasi di daerah membuat pemerintah daerah merasa tidak perlu bertanggung jawab yang penting ada uang yang ditransfer ke daerah.

Pembangunan lingkungan dan pembangunan berorientasi pada masyarakat kecil cenderung jauh tertinggal dan rendah daya tariknya atau insentifnya dibandingkan dengan pembangunan infrastruktur fisik dan  ekonomi. Pemerintah daerah cenderung lemah dalam hal kapasitas institusi dan sumberdaya manusia. Tetapi pembangunan kelembagan dan sumber daya manusia juga tidak banyak mendapat dukungan atau dianggap tidak perlu didukung  jika dibandingkan dengan pembangunan fisik dan ekonomi.

Pilar-pilar kepemimpinan adalah institusi, konstituen, kekuasaan dan kewenangan dalam struktur sosial yang memungkinkan adanya mobilisasi, instruksi, kerjasama, fasilitasi, akomodasi dan upaya-upaya atau proses-proses untuk  pencapaian tujuan bersama. Namun yang penting juga bobot kepemimpinan seseorang yang seringkali tidak ditunjukkan oleh latar belakang keahlian atau kepakarannya di bidang tertentu  tetapi kemampuan manajerial, kemampuan membangun hubungan sosial  politik dan komunikasi.

Tidak ada warisan kepemimpinan lingkungan  atau kepemimpinan yang memperhatian lingkungan yang bisa dilihat dalam pemimpin formal di Indonesia. Warisan yang memungkinkan adanya perhatian pada lingkungan adalah warisan institusi adat dengan aturan dan kearifan tradisional yang jelas sanksinya walaupun tidak tertulis aturannya.  Di sana ada kepemimpinan kolektif yang bisa diturunkan kepada generasi berikutnya. Tantangan yang dihadapi sekarang adalah bahwa aturan adat dan kearifan tradisional semakin melemah karena tekanan politik, populasi, penduduk dan ekonomi.

Dengan memperhatikan  sejarah dan perjalanan pemerintahan dan tata kelola negara dan serta proses transformasi politik dengan berbagai kemajuan dan hambatan sampai dengan proses desentralisasi dan pemberian otonomi daerah saat ini, langkah-langkah yang bisa mulai untuk membangun kepemimpinan lingkungan adalah:

  1. Kewenangan dan kekuasaan Kementerian Lingkungan Hidup perlu diperluas dan didukung dalam penegakan hukum melalui proses litigasi, aturan dan pelaksanaanya yang jelas dan kuat bekerja sama dengan instutisi penegak hukum lainnya. Kementerian lingkungan hidup tidak memiliki wilayah kekuasaan namun bekerja dalam wilayah kekuasaan dan kewenangan sektor dan institusi lain. Di tingkat daerah Bappedalda tidak berfungsi baik selain mengurus AMDAL atau fungsi-fungsi yang bisa diabaikan oleh sektor lain.
  2. Tolok ukur keberhasilan  pemimpin daerah (Gubernur, Bupati, Kepala Dinas dan sebagainya)  baik untuk performance contract, kontrak politik dan penilaian kinerja dalam pentuk LPJ (Laporan Pertanggung-Jawaban) harus juga mencakup tolok ukur kinerja lingkungan. Bagaimana tolok ukur kinerja swasta dikaitkan dengan lingkungan juga bisa dimodifikasi dan dikembangkan untuk pemerintah sendiri misalnya AMDAL, ISO, PROPER,  Akuntasi Lingkungan  (environmental  accounting), tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan dan sebagainya
  3. Alokasi anggaran untuk pembangunan lingkungan harus ditingkatkan secara bertahap disesuaikan dengan kondisi kerusakan lingkungan. Ada banyak sumber-sumber anggaran yang sangat besar untuk digali  dari pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan itu sendiriTolok ukur anggaran pembangunan yang selama ini menonjolkan ukuran keberhasilan fisik (volume) dan jumlah anggaran yang dihabiskan (diserap) harus juga memasukkan unsur-unsur kinerja lingkungan. Misalnya berkurangnya polusi, meningkatnya debit air, bertambahnya luas hutan yang ditanam, meningkatnya  daya dukung perairan untuk perikanan dan sebagainya. Di dalam  APBN dan APBD penilaian lingkungan tidak jelas. Karena itu sistem anggaran dan akuntansi pengelolaan anggaran negara perlu mulai memasukan komponen lingkungan di mana pengeluaran untuk fasilitasi dan operasi pengelolaan lingkungan harus dimasukkan dan dicocokkan dengan manfaat ekonomi dan sosial dari proses pembangunan atau penggunaan anggaran tersebut.
  4. Pembangunan negara  dan daerah cenderung menekankan pada pertumbuhan ekonomi antara lain dalam bentuk PAD dan PDRB tetapi tidak ada indikator pertumbuhan perbaikan lingkungan. Akibatnya lingkungan dianggap sebagai faktor yang  terjadi begitu saja tanpa perlu dilihat urgensinya untuk menilai kinerja lingkungan tersebut serta trade off yang telah terjadi akibat perhatian yang terlalu besar pada ekonomi tetapi mengorbankan lingkungan.
  5. Setiap terjadi pergantian pemimpin baik negara, propinsi maupun daerah selalu terjadi perubahan gaya kepemimpinan, arah kebijakan dan fokus pembangunan. Ada yang memperhatikan lingkungan dan ada yang tidak. Pembangunan lingkungan seharusnya menjadi kebutuhan dan tujuan mutlak siapapun pemimpin daerah.
  6. Salah satu cara pengendalian pembangunan lingkungan adalah  mekanisme control yang dalam bahasa baru disebut sebagai mekanisme akuntabilitas untuk memperlihatkan tata kelola  yang baik (good governance). Instrumen ini sudah ada sejak dulu dan di pemerintah ada berbagai institusi dan cara untuk melakukan penilaian dan pengendalian. Misalnya melalui Inspektorat Jenderal, Internal Audit, Waskat, BPKP dan sebagainya. Mekanisme akuntabilitas atau mekanisme kontrol ini harus juga dibekali dengan komponen penilaian lingkungan bukan hanya penggunaan atau penyalahgunan keuangan semata. Bagaimana instrumen kontrol bisa dibangun menilai kinerja pemerintah di bidang lingkungan? Apakah Kementerian Linungan Hidup bisa diberi peran dan kewenangan  untuk auditing lingkungan pemerintah  pada berbagai level dan sektor? Hasil penilaian kinerja harus diungkapkan kepada publik untuk juga turut menilai dan membangun rasa malu (social control) di dalam pemimpin yang gagal walaupun ada instrumen hukum untuk membawa berbagai persoalan konflik dan kegagalan ke dalam  institusi pengadilan atau penegakan hukum lainnya.
  7. Ada partai politik yang mendapat tekanan dari masyarakat madani dan ada yang memberikan respon dalam kampanye dan programnya untuk memasukan persoalan lingkungan ke dalam prioritas pembangunan. Tetapi ketika mereka berada di dalam sistem pemerintahan dan lembaga legislatif (DPR) mereka menghadapi tekanan yang lebih kuat yang berkaitan dengan ekonomi politik pengelolaan sumberdaya alam. Adakah ada mekanisme akuntabilitas untuk menilai kinerja parpol dan dinyatakan dalaam tolok ukur yang jelas baik kualitatif maupun kuantitatif?
  8. Persoalan yang sama juga dapat diterapkan pada organisasi bukan pemerintah dan unsur-unsur masyarakat madani lainnya. Banyak LSM, ORNOP atau elemen masyarakat madani yang keras melakukan protes, kampanye dan advokasi bidang lingkungan tetapi kenyataan menunjukkan bahwa banyak lembaga ini juga bermasalah. Audit lingkungan, kinerja dan audit keuangan perlu diungkapkan secara terbuka kepada publik tentang apa yang sudah dilakukan lembaga ini bukan hanya apa yang mereka protes dan kampanyekan untuk menentang kebijakan yang salah.
  9. Kepemimpinan lingkungan tanpa dukungan hukum lingkungan dan penegakannya akan membuat semua upaya perbaikan dan pemeliharaan lingkungan menjadi mandul. Alat-alat kendali untuk mendapatkan akuntabilitas pemerintah dan swasta maupun lingkungannya dalam pengelolaan lingkungan perlu diperkuat dan dipertegas. Alat-alat instrumen yang sudah ada seperti Amdal, ISO, Proper dan sebagainya perlu terus disempurnakan dan diterapkan dengan konsisten untuk semua jenis institusi pada berbagai hirarki dan instansi horizontal.

Penutup


Kepemimpinan lingkungan tidak ada artinya tanpa adanya institusi, kekuasaan, kewenangan, sistem dan model pengelolaan atau manajemen dan  dukungan konstituen secara kolektif untuk mencapai tujuan bersama. Unsur-unsur ini sangat penting untuk membuat kepemimpinan lingkungan yang ada dalam pribadi atau sebgai organisasi (institusi) menjadi lebih berarti.


Namun tantangan yang  paling  berat dihadapi dalam kepemimpinan lingkungan adalah mencari model dan implementasi perpaduan antara pembangunan ekonomi dan pembangunan lingkungan. Persoalan ini dihadapi di mana-mana di seluruh dunia bahwa ada kepentingan ekonomi  yang mempunyai pengaruh yang kuat dalam pembuatan kebijakan pemerintah dan implementasi pembangunan untuk mengutamakan pasar daripada lingkungan. Persoalan ini menjadi lebih rumit setelah terjadinya proses transformasi politik dan pelaksanaan otonomi daerah.  Pada masa otonomi daerah hampir semua sendi  kehidupan social, ekonomi, politik dan  lingkungan menjadi lebih runyam.

Jika dikaitkan dengan  upaya pembangunan berkelanjutan dan  otonomi daerah pada saat ini pembangunan lingkungan menjadi lebih sulit. Institusi yang berkembang semakin banyak, luas dan bervariasi. Konstituen suatu institusi atau sistem politik dan ekonomi mengalami fragmentasi ke dalam berbagai institusi baru dengan kepentingan, motivasi, perilaku yang semakin rumit pula.

Sangat nyata di depan kita bahwa proses otonomi daerah dibarengi dengan proses ekploitasi dan perusakan sumberdaya alam yang semakin dahsyat, privatisasi sumberdaya alam oleh perusahaan nasional dan global, keterikatan pada institusi inernasional yang lebih mengutamakan pembangunan ekonomi  dan juga proses-proses politik yang cenderung desktruktif.

Apa model mekanisme kontrol, kewenangan dan kekuasaan yang perlu dibuat agar upaya pembangunan apapun harus menghindari tekanan yang berlebihan pada sumberdaya alam dan lingkungan? Kita sudah kelebihan teori pembangunan partisipatif, pembangunan berbasis masyarakat, tata kelola, social capital, pembangunan berkelanjutan, tata kelola yang baik,  dan juga sudah terlibat dalam berbagai institusi dan konvensi internasional tetapi pelaksanaannya dan pengendaliannya di dalam negeri tidak begitu jelas arahnya.   Bagaimana kepemimpinan lingkungan mengatasi masalah-masalah di atas?

Mungkin kita bisa pelajari dari berbagai perusahan industri manufaktur besar di berbagai negara  di mana semua perusahaan harus memiliki akuntasi lingkungan (environmental accounting). Bagi beberapa perusahaan akuntasi lingkungan dianggap sama pentingnya dengan akuntasi keuangan. Berbagai perusahaan swasta di Jepang juga kini mengembangkan kepemimpinan lingkungan yang cukup efektif karena perencanaan dan penterjemahan ke dalam  proses dan produknya jelas dan terukur secara ekologis, financial dan social. Juga hukum lingkungan dan penegakannya di berbagai negara maju menjadi andalan untuk pengendalian kerusakan lingkungan.

Selama bertahun-tahun, misalnya, para pengamat lingkungan menilai bahwa Kewenangan Kementerian Lingkungan Hidup sangat lemah tidak kuat didukung oleh sistem pemerintahan yang ada. Kementerian Lingkungan hidup seakan-akan merupakan aktivis lingkungan pemerintah karena sering mengungkapkan, protes dan menyampaikan persoalan-persoalan lingkungan tetapi tidak berdaya dalam proses hukum dan penegakan aturan lainnya. Kedudukan Kementerian Lingkungan hidup sering lemah dibandingkan dengan Departemen Sektoral yang kuat didukung oleh pasar dan kapitalis untuk memperjuangkan ekploitasi sumberdaya alam daripada melestarikan lingkungan dan sumberdaya alam. Fakta menunjukkan bahwa Kementerian Lingkungan Hidup tidak memiliki kepemimpinan yang kuat. Kewenangan, institusi, kekuasaan dan konstituennya lemah atau tidak jelas.

Kita juga menyaksikan berbagai eksperimen model pengelolaan lingkungan termasuk pengelolaan kawasan konservasi, pertanian berkelanjutan, pembangunan berbasis masyarakat, agroforestry, kehutanan masyarakat (community forestry) atau perhutanan sosial (social forestry), penerapan AMDAL, perpaduan antara pembangunan dan lingkungan yang tidak berhasil tetapi sudah menghabiskan biaya yang sangat besar. Persoalannya jelas yaitu karena ketidakjelasan kepemimpinan lingkungan menurut definsi  atau ruang lingkup pengertian yang kita pakai di sini.

Secara teoretis kepemimpinan berfungsi karena adanya struktur sosial. Tetapi bagaimana dengan  kepemimpinan lingkungan? Struktur sosial tidak dapat diterapkan begitu saja dalam kepemimpinan lingkungan. Modul pelatihan kepemimpinan lingkungan yang dikeluarkan oleh Kansas Environmental Leadership Program menulis: The boundaries of modern social structures have set the parameters of our understanding of leadership, and these parameters do not apply clearly to environmental leadership.

Terlepas dari perlunya dukungan institusi, kewenangan dan kekuasaan serta konstituen dan perlunya kelengkapan penilaian keberhasilan kepemimpinan, sebuah pertanyaan kunci yang juga mungkin vital adalah apa insentif bagi orang untuk berbuat baik bagi lingkungan? Apa insentif bagi pemerintah daerah untuk menjalankan berbuat baik bagi lingkungan jika insentif ekonomi jauh lebih kuat daya tariknya. Kita bisa membangun kelembagaan, kebijakan  dan kepemimpinan yang baik bagi lingkungan tetapi daya tariknya tidak jelas jika tidak ada insentif baik dalam bentuk materi dan non-materi yang bisa bermanfaat  bagi pemerintah dan masyarakat daerah. Apakah kepemimpinan lingkungan memiliki daya tarik dan insentif untuk institusi dan konstituennya mengelola lingkungan dibandingkan dengan kepemimpinan ekonomi dan politik?

 Bahan Bacaan 


  1. Kansas Environmental Leadership Program 2005.  MODULE 1 of Environmental Leadership Training Session One,  Introduction to Leadership and Water Resources. Kansas State University Agricultural Experiment  Station and Cooperative Extension Service, In Cooperation with the Kansas Department of Health and Environment and Supported by  U.S. Environmental Protection.  .
  2. Arbor, Ann. 1996.  Environmental Leadership at the  University of Michigan:  Activities and Opportunities. Final Draft.  Greening the Maize and Blue Advisory Committee  University of Michigan
  3. Greening The National Park Service Environmental Leadership. http://www.nps.gov/renew/leadership.htm
  4. García, Robert, 2002.  Equal Access to California's Beaches Resource Paper Series, presented to  Second National People of Color Environmental Leadership Summit - Summit II October 23, 2002 Center for Law in the Public Interest Santa Monica, California
  5. The Environmental Leadership Program. http://www.elpnet.org.
  6. Reynolds, John. 1999. Environmental Leadership. The Green Voice
  7. Honda. 2005. http://corporate.honda.com/environment/index.aspx. Environmental Leadership.


Tentang Penulis


Tony Djogo saat ini  (2005) bekerja sebagai  Senior Adviser and Policy Analyst di Konphalindo (Konsorsium Nasional untuk Pelestarian Hutan dan Alam Indonesia) sejak 2003. Ia menyelesaikan pendidikan sarjana dari Institut Pertanian Bogor dan MSc bidang Ekonomi Pertanian khususnya Pembangunan Pertanian dari Wye College, University of London. Risetnya ditekankan pada persoalan kebijakan dan kelembagaan pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Tony telah berpengalaman luas di sebagai  konsultan, peneliti, dosen (Fakultas Pertanian dan Politeknik Pertanian sampai dengan tahun 2000) , praktisi dan bekerja dalam organisasi bukan pemerintah selama 25 tahun terakhir ini. Sebelumnya  Tony bekerja sebagai peneliti pada proyek penelitian Responsive Policy Research and Development di Center for International Forestry Research (CIFOR) pada tahun 2000 – 2003. Tony pernah bekerja sebagai Dosen selama 18 tahun (1982 – 2000) dan menjadi Direktur Politeknik Pertanian Negeri Kupang selama 13 setengah tahun sejak 1984 sampai dengan tahun 1997. Pada tahun 1980 – 1982 bekerja sebagai teknisi dan konsultan dalam proyek Transmigration Settlement Developmen Project di Kalimantan Tengah.  Bidang kerja, minat dan keahlian bervariasi luas  menyangkut persoalan kebijakan (policy) dan kelembagaan, kehutanan terutama kehutanan masyarakat  dan rehabilitasi serta desentralisasi pengelolaan kehutanan, agroforestry, konservasi, pembangunan dan lingkungan, pembangunan pedesaan dan masyarakat, desentralisasi dan tata kelola sumberdaya alam lingkungan. Tony telah diundang dan memberi ceramah, membawa makalah atau memberikan kuliah  di berbagai lembaga internasional dan universitas di lebih dari 30 negara di berbagai benua  (Afrika, Eropa, Asia , Amerika Utara, Amerika Tengah, Amerika Latin, Australia, New Zealand, Timur Tengah). Makalah atau tulisannya telah diterbitkan atau disumbangkan sebagai working paper atau bab dari buku (book chapter), resource book, policy paper, info kebijakan, bahan ajar, atau materi penyuluhan.

Comments

Popular posts from this blog

Sakura Sumba, Konjil, Bubunik, Buni, SakuraTimor, Mudi (Cassia javanica)

Sejarah Yayasan Mitra Tani Mandiri (YMTM) versus Yayasan Geo Meno (YGM)