CSR : Corporate Social Responsibility atau Collective Social Responsibility?

Tony Djogo 

Dua minggu lalu, 27 Augustus 2009 ada sebuah seminar tentang Corporate Social responsibility (CSR) di Universitas Trisakti yang diselenggarakan oleh Center for Enterpreneurship, Change and Third Sector (CECT-Usakti). 

Seminar dengan judul “Revisiting Asian Third Sector Governance: What Moulds the CSR” menghadirkan tiga pembicara tamu: Prof Samiul Hassan dari United Arab Emirate University, Dr. Lily Dominggo, dari The University of Philippines, Prof Ishwara Bhat dari India dan satu pembicara dari Universitas Trisakti sendiri, Ir. Maria Dian Nurani yang membawakan makalah tentang ISO 26000 dan kaitannya dengan CSR. Rektor Universitas Trisakti, Prof. Thoby Mutis, menyampaikan key note speech secara lisan. 

Seminar ini mengetengahkan filosofi, konsep, pengalaman empirik dari studi kasus dan isu-isu kunci mengenai CSR. Kurang lebih lima puluh peserta dari Usakti, LSM dan pihak luar lainnya. Bagi beberapa mahasiswa Pasca Sarjana Universitas ini seminar ini menarik untuk masukan yang sangat baik tentang filosofi, pengetahuan dan pengalaman empiris untuk membuat rancangan riset tentang CSR bagi mereka yang akan menyelesaikan studi S2 di Universitas ini. Bagi kalangan LSM Seminar ini tentu saja menarik karena bisa memahami filosofi, konsep dan teori, sejarah serta beberapa pengalaman empirik tentang pelaksanaan CSR dari beberapa negara. 

Kalangan LSM biasanya gencar melontarkan kritik tentang kebijakan, peraturan dan pelaksanaan CSR di Indonesia namun tanpa memahami apa sebenarnya CSR itu dan apa yang membedakannya dari community service atau community development, bisa terjadi salah tafsir akan tugas dan tanggung jawab perusahaan swasta. 

CSR tidak bisa terlepas dari pengaruh kekuasaan dan kebijakan, pasar dan tekanan global serta motivasi perusahaan untuk tetap bertahan dengan bisnisnya.  Wacana CSR sudah lama di bicarakan di Indonesia dengan beragam pandangan dari pemerintah, Swasta, Universitas dan LSM. 

Pada 2007 pemerintah mengeluarkan Unddang-undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas . Seperti biasa, Undang-undang ini menimbulkan sikap pro kontra tergantung siapa yang mendapat manfaat dan siapa yang dirugikan, serta apa konsekuensi dan implikasi dari Undang-undang ini. Undang-undang ini menetapkan bahwa CSR adalah sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan oleh semua perusahaan (mandatory) bukan sebuah kegiatan sukarela (voluntary). Yang menjadi pertanyaan mengapa hanya perusahaan yang mengelola sumbedaya alam saja. 

Materi yang disampaikan dan dibahas dalam seminar ini mencakup aspek-aspek filosofis, konsep dan teori yang melandasi CSR. Pembicara dari Philippines menyampaikan hasil studi kasus di berbagai negara tentang pelaksanaan CSR sedangkan Prof Ishawar dari india menekankan bahwa CSR tanpa dukungan kepastian hukum dan penegakannya tidak akan berjalan dengan baik untuk memperlihatkan akuntabilitas perusahaan yang wajib menjalankan CSR dan para pihak yang bekerjasama dalam pelaksanaan CSR. 

Diskusi dalam Seminar ini membahas apa itu The Third Sector? The Third Sector sebagaimana dibahas oleh Prof Thoby Mutis dan Maria Ndita dari CECT Usakti serta Profesor Samiul Hassan adalah istilah yang digunakan untuk LSM, NGO, Civil Society, ORNOP, Universitas dan kalangan masyarakat madani lainnya, yang membedakan mereka dari Pemerintah (First Sector) dan Swasta (Second Sector).

Penggunaan istilah-istilah seperti non-profit organization, non governmental organization, civil society organization dibedakan karena adanya kegagalan-kegagalan dipihak pemerintah dalam menjalankan fungsinya sebagai pelayan publik dan masyarakat. Prof Samiul menyampaikan kritik bahwa sebenarnya non-profit organization adalah istilah yang tidak benar karena kenyataan menunjukkan bahwa mereka juga mendapat profit dari dana yang diterima dari pihak lain. Istilah non-government organization sebenarnya memperlihatkan adanya kegagalan pemerintah dalam menjalankan fungsinya melayani (pembangunan) masyarakat dan istilah civil society memperlihatkan adanya kegagalan negara dalam pembangunan. 

Peran The Third Sector hanya salah satu bagian kecil saja yang bisa menunjang keberhasilan CSR. Sebelum istilah SCR diperkenalkan dan menjadi populer di Indonesia sudah ada banyak bentuk kemitraan antara swasta dan Ornop yang seringkali tidak jalan. Ada berbedaan kepentingan, cara pandang dan cara kerja serta perbedaan kekuasaan dan kemampuan mengantisipasi tantangan pasar, politik dan kekuasaan. 

Salah satu contoh yang pernah diinstruksikan oleh pemerintah pada tahun 1990an adalah tentang PMDH, Pembangunan Masyarakat Desa Hutan). Perusahaan Swasta (HPH) diwajibkan memberikan perhatian bagi pembangunan masyarakat sekitar, namun kebanyakan perusahaan ini lebih suka memberikan bantuan fisik dari pada pembangunan kapasitas dan pemberdayaan masyarakat dalam arti luas (pengetahuan dan keterampilan, organisasi, sikap dan kesadaran, pembangunan ekonomi dan sosial masyarakat). 

Ada peran LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang bisa sangat kuat namun sinergi antara LSM (The Third Sector) dan Swasta (The Second Sector) banyak yang tidak jalan. LSM cenderung mengkritik tanpa solusi yang realistis dan dapat diterapkan di tingkat masyarakat. LSM juga sangat tergantung pada bantuan pihak luar dalam hal pendanaan dan pembangunan kapasitas. Swasta tidak ingin menghabiskan waktu untuk pembangunan masyarakat karena sulit diukur dalam indikator perusahaan yang bisa dijustifikasi dalam satuan pengelolaan administrasi dan keuangan perusahaan. Pembangunan (pemberdayaan masyarakat) memerlukan waktu yang panjang dan sulit diukur dalam satuan keuangan tahunan. LSM seharusnya berperan di sini. Namun LSM mencurigai swasta dan swasta mencurigai LSM. Di sini seharusnya ada pemerintah (The First Sector) yang bisa memainkan peran kunci dengan kekuasaan dan kewenangan untuk menjembatani kerjasama antar pihak ini. 

Pengalaman penulis di lapangan ketika mengunjungi masyarakat yang hidup di sekitar perusahaan kayu di Kalimantan dan Sumatera, atau disekitar perusahaan tambang di Kalimantan serta  mengunjungi salah satu perusahan penanaman kayu di Philippines (PICOP) atau masyarakat yang hidup disekitar Perum Perhutani di Jawa dan HTI di Timor memperlihatkan adanya perubahan sosial dan ekonomi dan gaya hidup akibat adanya perusahaan-perusahaan ini. Di sana terjadi perubahan sosial, pola konsumerisme, perubahan harga jual komoditi primer dan sekunder, perubahan perilaku hidup dengan adanya restaurant, prostitusi, dan adanya pengaruh budaya luar, serta barang-barang konsumtif yang sangat jelas pengaruhnya pada pola kehidupan masyarakat disekitar perusahaan. Generasi muda yang biasanya bekerja dengan bertani pindah ke sekitar perusahaan apakah menjadi buruh, preman atau tukang ojek dan mencari pekerjaan apa saja yang lebih mudah mendatangkan uang tunai. Apakah konsep dan pendekatan CSR bisa diterapkan di sini? 

Setiap perusahaan pasti mempunyai misi dan motivasi utama yaitu keuntungan dan keberlanjutan perusahaan. Namun mereka juga pasti mempunyai tanggung jawab sosial. Berapa persen sumbangan mereka tentu saja sangat tergantung pada keuntungan yang mereka dapatkan. Sumbangan juga dapat diberikan secara tidak langsung melalui tenaga kerja atau buruh perusahaan yang bisa membangun keluarga dan masyarakat sekitar mereka. Tentu saja ada pro kontra mengenai apa kontribusi perusahaan baik langsung maupun tidak langsung, nyata (tangible) dan tidak kelihatan (intangible). 

Tanpa melihat adanya model CSR beberapa perusahan besar seperti Ford, Microsoft, Toyota, Unilever, dan sebagainya membangun lembaga philantropi untuk memberikan sumbangan bagi kaum papa dan yang terpinggirkan dari sudut kesehatan, ekonomi dan pendidikan. Banyak perusahaan yang memberikan beasiswa, bantuan sosial, memberikan bantuan operasi katarak atau pengobatan secara gratis bukan hanya untuk karyawan tetapi juga keluarganya. 

Persoalan CSR sebenarnya sudah sangat panjang perdebatannya termasuk sejak masuknya VOC (East India Company) di Indonesia di mana dengan adanya perusahaan-perusahaan tersebut terjadi perubahan struktur sosial dan model pembangunan ekonomi. Prof Samiul Hasan mengungkapkan dampak positif dan negatif dari penjajahan, antara penjajahan yang dilakukan oleh Inggeris, Belanda, Portugis dan Perancis atau Spanyol. Kita bisa bandingkan pembangunan Singapura dan Taiwan yang dipengaruhi Inggeris dibandingkan dengan Laos dan Cambodia yang pernah dijajah Perancis dengan perbedaan kemajuan dan struktur ekonomi serta pengaruhnya pada struktur sosial. Penjajahan Belanda menyisakan banyak persoalan kekacauan ekonomi di Indonesia karena tidak dibangun landasan sistem ekonomi yang kuat dan berkelanjutan. 

Negara-negara Asia Timur seperti Taiwan, Thailand, China dan Jepang adalah negara-negara industri di Asia dalam bidang ekonomi dan industri saat ini yang sama sekali tidak pernah dijajah bangsa Barat dengan struktur sosial dan ekonomi yang berbeda . Negara-negara yang dijajah Spanyol seperti Philippines dan negara-negara Amerika Latin memperlihatkan pola kehidupan sosial dan ekonomi yang khas. Salah satu kesimpulan yang bisa diambil dari pertemuan ini adalah bahwa CSR bukan hanya tanggung jawab perusahaan tetapi tanggung jawab bersama (Collective Social Responsibility). Swasta tidak bisa kerja sendiri tanpa bantuan atau kerjasama dengan pihak lain. The Third Sector berperan strategis dalam membantu The First Sector dan The Second Sector. Sector ini bisa memberikan dukungan antara lain dengan mengangkat model-model pembangunan atau kerjasama, kelembagaan serta tabungan tradisional. 

Banyak yang tahu bahwa pihak LSM, Ornop (Organisasi Non Pemerintah) , CSO (Civil Society Organization)  dan sejenisnya memiliki kekuatan yang sangat besar dalam proses fasilitasi, pemberdayaan, pendampingan, bahkan analisis kebijakan dan program pembangunan. Kekuatan ini bisa diandalkan untuk mengisi kekurangan yang dimiliki pemerintah dan swasta. Di Indonesia sudah banyak dikembangkan proses-proses fasilitasi, proses multipihak, kolaborasi atau kerjasama baik dalam proyek ataupun jaringan. Potensi ini seharusnya bisa mendukung pengembangan CSR. Swasta pasti tidak ingin report mengurusi persoalan pergeseran struktur sosial dan ekonomi di tingkat Masyarakat. 

Jika peran the Third Sector  (Sektor Ketiga) di sini diperdebatkan artinya, sesuai dengan nama definisi dari berbagai terminologi Third Sector, kalangan kelompok ini seharusnya mengisi kesenjangan yang disebabkan oleh sector pertama dan sektor kedua dalam hal kegagalan pasar, kegagalan negara dan kegagalan pemerintah atau kegagalan kelembagaan. Sektor ketiga bisa juga berperan strategis dalam mendukung pemerintah dan swasta dalam mengatasi kegagalan kebijakan dan kegagalan kelembagaan. Namun bukan berarti sektor ketiga adalah tabib untuk mengatasi kegagalan-kegagalan tersebut. Harus ada pembagian peran yang jelas dan hubungan kerjasama yang produktif dan mutualistis antara ketiga sector. Artinya dalam Pengembangan CSR lebih baik swasta tidak bekerja sendiri.

Comments

Popular posts from this blog

Kepemimpinan Lingkungan (Environmental Leadership)

Sakura Sumba, Konjil, Bubunik, Buni, SakuraTimor, Mudi (Cassia javanica)

Sejarah Yayasan Mitra Tani Mandiri (YMTM) versus Yayasan Geo Meno (YGM)