Wajah Desa Kita yang Kusam



Oleh Tony Djogo

Mantan Direktur Politeknik Pertanian Kupang 1984-1997

Setiap kali pulang kampung atau cuti ke Timor dan Flores, pasti saya mengumpulkan berbagai informasi, secara informal, tentang desa-desa yang saya kunjungi. Tetapi saya juga punya banyak catatan tentang desa ketika berkunjung ke desa-desa di Sumatera, Kalimantan dan Jawa Barat. Banyak informasi menarik yang berhasil dikumpulkan yang memperlihatkan, dan sangat jelas, bahwa sudah bertahun tahun desa cendrung menjadi obyek ekploitasi politik dan ekonomi dari pada subyek dan mitra pembangunan atau mitra bisnis.

Jika kita menggunakan definisi pembangunan dari berbagai sudut pandang, perubahan yang terjadi di desa sering tidak jelas hasil atau dampaknya akibat intervensi dari luar. Kesimpulan ekstrim yang saya gunakan sejak tiga puluh tahun lalu adalah bahwa perubahan yang terjadi di desa bisa lebih dominan akibat respons dan reaksi langsung oleh masyarakat akibat tekanan atau ancaman dan hambatan yang mereka hadapi untuk membangun hidup mereka. Intervensi pihak luar ada yang membawa perubahan tetapi juga membawa masalah-masalah baru.

Desa jelas bukan hanya semakin menjadi obyek eksploitasi kepentingan politik tetapi juga obyek proyek pemerintah dan LSM, obyek penelitian, obyek eksperimen model pembangunan dan penelitian , dan obyek perilaku opertunistik berbagai pihak.

Dari segi obyek politik semakin jelas bisa kita lihat, misalnya, bagaimana partai partai yang begitu banyak mencengkramkan kakinya di desa dengan membangun kantor-kantor cabang dan ranting atau unit terkecil dan terutama mempunyai agen agen mereka sampai di desa untuk menjaring informasi dan mendapatkan dukungan pada saat pemilihan kepala daerah atau anggota legislatif. Bendera partai tertancap di mana mana bahkan sampai di tengah sawah, tetapi tapi mereka tidak memberikan penyuluhan, bantuan atau dukungan bagi pembangunan pertanian dan pengentasan kemiskinan di desa.

Orang Desa jelas punya masalah yang sangat banyak dan perlu segera ditangani tetapi orang partai dan calon mereka supersibuk menjelang pemilihan, lalu setelah PILKADA atau PILEG lalu orang yang sudah menjadi Bupati atau DPR tidak pernah menampakan mukanya di Desa. Padahal pada saat mereka kampanye mereka dengan angkuhnya menjanjikan bantuan listrik, air, jalan, pendidikan, kesehatan pertanian dan sebagainya yang mereka tidak laksanakan dan tidak bisa laksanakan, karena sangat tergantung anggaran pusat, bukan anggaran kabupaten apalagi anggaran pribadi calon Bupati yang membual ketika kampanye.

Desa Grodhere misalnya pada PILKADA tahun 2007 sang calon Bupti dengan lantang mengatakan kalau saya terpilih dalam satu bulan langsung tiang litrik dipasang. Sampai hari ini tidak ada tiang listrik yang dipasang dan Bupati itu tidak tau kemana. Calon Bupati berikutnya juga pasang janji-janji indah yang tidak pernah dilaksanakan. Sampai hari ini (Agustus 2017) sudah hampir 72 tahun Indonesia merdeka orang Gero tidak menikmati listrik PLN.

Jalan yang melintas desa ini rusak parah, padahal Bupati pasti lewat situ dengan kendaraan dinasnya, dengan AC yang sejak tetapi meninggalkan debu bagi masyarakat di pinggir jalan tersebut.

Dari segi obyek proyek desa adalah ladang uang untuk LSM yang datang dengan berbagai gagasan atau model pembangunan yang dikatakan inovatif. Ada pengurus LSM menjadi kaya raya, hidup mewah, punya mobil anak kuliah di perguruan tinggi, sedangkan masyarakat yang dibantu ekonominya tidak berubah, mereka bahkan ada yang masih tetap hidup dalam kemiskinan tidak punya akses ke sumber air, masih hidup dengan rumah tanpa jendela atau tempat tidur tanpa kasur, tanpa WC, air dan sebagainya. Pengurus LSM punya generator listrik sedangkan anggota masyarakat gelap gulita rumahnya. Pada saat yang sama ada LSM mengklaim ke donor bahwa mereka berhasil meningkatkan ekonomi masyarakat sebesar sekian persen dengan angka-angka statistik yang dikarang-karang.

Desa juga menjadi obyek proyek pemerintah yang memberikan manfaat luar biasa bagi kontraktor atau segelintir orang. Sebagai pelaksana proyek mereka punya hak tetapi dampak bagi masyarakat desa sangat kecil. Dengan adanya Dana Desa, masyarakat desa seharusnya mendapatkan bantuan dan manfaat, justru muncul provokator proyek, agen agen yang mempengaruhi perencanaan dan alokasi dana untuk pembangunan fisik. Dana desa kelihatan lebih enak dan mudah dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur fisik daripada pembangunan kelembagaan, penguatan kapasitas, keterampilan teknis petani atau menangani masalah-masalah sosial yang cukup krusial untuk diatasi agar pembangunan pedesaan di sektor lain akan lebih baik atau lebih mudah.

Tanggapan yang diberikan pemerintah terhadap ancaman dan tantangan yang dihadapi masyarakat desa ada yang sangat diskriminatif atau aneh. Di hampir semua desa yang saya kunjungi ada “plang-plang” atau “papan pengumuman” berisi petunjuk untuk jalur evakuasi jika terjadi bencana. Yang diselamatkan manusia, memang, yang tidak diketahui kapan akan terjadi tetapi ketika terjadi bencana terhadap hewan seperti penyakit ternak dan kekeringan, atau tanaman mati karena kemarau panjang dan penyakit terjadi saat itu, tidak ada tanggapan yang jelas dari pihak pemerintah.

Definisi dan penanganan bencana terhadap sistem pertanian tidak jelas, padahal semakin banyak pakar berbicara tentang perubahan iklim dan makin banyak makalah dan seminar tentang perubahan iklim. Mereka suka sekali bicara adaptasi dan mitigasi perubahan iklim tetapi mereka tidak pernah ke desa untuk merancang cara mitigasi dan adaptasi di tingkat desa.

Anggota masyarakat di sebuah desa di Kupang Barat menjelaskan bahwa beberapa tahun lalu muncul wabah penyakit hewan sehingga babi dan ayam mereka mati, tidak ada tanggapan dari instansi pemerintah yang seharusnya menangani masalah ini.

Di Manggarai Timur petani mengeluh ketika terjadi kemarau panjang banyak hewan yang mati. Yang datang adalah petugas pemerintah dan wartawan yang mendata kematian ternak dan membuat foto-foto dan wawancara masyarakat tetapi setelah itu tidak tau mereka kemana dan tidak pernah ada bantuan bagi masyarakat. Masyarakat desa ini penderitaanya juga berkepanjangan karena urusan KTP elektronik mereka sudah bertahun tahun tidak jelas juntrungannya. Katanya sudah difoto beberapa tahun lalu tetapi setiap kali mereka ke desa KTP elektronik mereka tidak selesai juga.

Desa-desa di Flores dan Timor juga banyak yang harus menghadapi masalah tanah dan persoalan hukum lainnya. Konflik kepemilikan antar keluarga dan antara suku merupakan masalah sosial yang tidak masuk dalam perencanaan pembangunan pedesaan. Apakah dana desa bisa dipakai untuk mengatasi masalah masalah sengketa tanah? Apa bantuan hukum yang bisa diberikan pemerintah bagi masyarakat desa? Apakah dana desa juga cukup untuk dialokasikan sebagian dalam penanganan masalah -masalah kelembagaan lokal, kelembagaan ekonomi, administrasi desa dan sebagainya.

Kita akui masyarakat desa cenderung rendah pendapatannya atau tingkat kesejahterannya atau sangat rendah tetapi mereka harus menanggung beban urusan-urusan sosial yang membutuhkan dana yang tidak sedikit. Urusan-urusan adat memerlukan dana yang sangat besar yang harus ditanggung oleh masyarakat baik secara individual maupun secara kolektif. Masyarakat cenderung lebih mudah mengeluarkan dana besar untuk urusan adat dan penanganan masalah sosial daripada membangun model bisnis individual maupun kelompok yang menguntungkan dan berkelanjutan.

Sistem transportasi, komunikasi, kredit dan pasar cenderung membuat orang desa semakin konsumtif daripada produktif. Orang orang yang produktif cenderung orang tua yang masih mau dan harus tinggal di desa dibandingkan dengan anak-anak muda yang lebih suka ke kota, jadi tukang ojek atau bahkan merantau meninggalkan aset-aset yang dikelola keluarga yang semakin tidak kuat. Ketika orang berbicara tentang potensi desa, saya menyaksikan dengan jelas bagaimana lahan-lahan nganggur tidak diolah padahal sagat potensial terutama di daerah-daerah dengan sumber air yang cukup. Daerah-daerah dengan sumber air yang sangat kurang cenderung pasrah kepada alam.

Masyarakat desa sering dipusingkan dengan adanya penelitian dan pengenalan metoda-metoda pendekatan baru yang tidak ada manfaatnya. Mereka capek dengan kuesioner, FGD, lokakarya dan pelatihan yang tidak jelas ujungnya selain bermanfaat bagi lembaga penelitian, pendidikan, LSM dan sebagainya yang tidak pernah digunakan hasilnya untuk perencanaan dan perancangan pembangunan pedesaan. Ketika masyarakat sedang sibuk kerja kebun, ada LSM datang dengan pendekatan partisipatif, pembangunan berbasis masyarakat, gender, perubahan iklim, karbon, ekonomi hijau, tata ruang, pembangunan berkelanjutan dan sebagainya yang tidak jelas manfaatnya bagi masyarakat desa Karena tidak ada tindak lanjutnya. 


Kenyataan juga memperlihatkan bahwa pendekatan-pendekatan ini lebih banyak didiskusikan melalui acara talk-show, FGD, seminar dan lokakarya tetapi tidak bermanfaat bagi orang desa. Mereka mempertanyakan kehadiran dan sumbangan ahli-ahli pertanian lahan kering, pembangunan pedesaan, hortikutura, peternakan, sanitasi dan kesehatan, pengelolaan air dan sebagainya. Mereka memerlukan ahli hukum, advokat, notaris yang bisa membantu masalah-masalah hukum mereka. Seorang anggota masyarakat desa yang kritis di Bajawa bertanya kepada saya dengan nada kocak dan sinis : Pak sekarang makin banyak orang es-2 dan es-3. Sumbangan mereka apa? Dia lanjutkan dia lebih suka es-campur lebih sejuk, nikmat dan enak. Waduh.

Lembaga Penelitian, Pendidikan dan LSM hanya datang dalam waktu singkat melakukan penelitian, membuat uji coba dan meninggalkan beban bagi masyarakat desa yang harus hidup terus menerus di desa. Para calon pemimpin datang dengan janji-janji indah mengeluarkan pernyataan tentang potensi dan masalah tetapi tidak jelas bagaimana caranya mengatasi masalah dan metoda pembangunan pedesaan yang baik dan berdampak di desa. Setelah mengumpulkan data dan mereka menjadi pemimpin dan mereka tidak pernah kembali ke desa bahkan ada yang sampai masa jabatan selessai.

Kemana kita pergi di desa baik di NTT, Sumatera, Kalimantan pertanian pedesaan semakin tidak menarik untuk diharapkan menghasilkan uang tunai yang nyata dan cukup serta berkelanjutan bagi masyarakat desa kita. Kebanyakan sumber uang tunai (jangka pendek) berasal dari kegiatan bukan pertanian seperti membuka kios atau jasa lainnya. Pertanian yang berhasil dan mendapatkan uang cukup biasanya dikelola oleh individu atau perusahaan yang mempunyai modal teknologi dan informasi serta kemampuan professional, inovatif dan kemampuan bisnis yang kuat. Petani yang punya lahan kurang dari satu hektar dan hanya mengandalkan musim hujan dan komoditi trasidional hanya mendapatkan uang secukupnya yang cenderung subsisten. Jika ada kelebihan mereka bisa ke pasar.

Pembangunan infrastruktur memang semakin bagus di masa-masa pemerintahan akhir akhir ini. Ada peluang yang sangat besar untuk masyarakat bekerja lebih keras dan produktif untuk berproduksi dan berbisnis. Tetapi mereka tidak mendapatkan penyuluhan dan pendampingan yang cukup atau juga pelatihan dan pengembangan bisnis untuk mengelola sumberdaya yang mereka miliki. Pembukaan infrastruktur jalan justru membuka peluang penguasaan aset-aset mereka dan peluang bisnis oleh pihak pendatang atau pihak luar yang biasanya pekerja keras dan lincah membaca peluang. Pembukaan infrastruktur cenderung tidak diikuti dengan pembuatan perencanaan dan perancangan pembangunan desa yang lebih professional bagaimana desa bisa dibangun ekonominya. Sangat nyata dan jelas bahwa pembangunan infrastruktur jalan merubah tata guna lahan Karena alih fungsi lahan-lahan pertanian menjadi kawasan pemukiman dan sentra bisnis.

Ini hanya sebagian kecil masalah-masalah yang saya amati ketika kunjungi desa desa di Flores dan Timor dalam masa cuti saya. Saya punya juga informasi dari hasil kunjungan ke berbagai desa di Sumatera dan Kalimantan, Jawa Barat, Sulawesi dan sebagainya, ketika masih bekerja dengan LSM, Lembaga Penelitian dan dengan Lembaga Donor. Bisa saya samppaikan kemudian. Yang menjadi persoalan bukan masalah tetapi pemecahaan masalah, perencanaan dan perancangan model pembangunan pedesaan yang lebih professional, konstruktif, berorientasi pasar dan berdampak bagi kehidupan ekonomi, sosial dan lingkungan mereka. Jika setiap individu pegawai negeri, swata, LSM dan sebagainya membantu membuat satu disain untuk satu desa mereka sendiri, kita memberikan sumbangan yang besar bagi masyarakat desa kita.

Ketika orang di kota dan negara maju semakin modern dengan kehidupan perkotaan, teknologi, bisnis dan informasi yang semakin mengagumkan wajah desa kita banyak yang kusam. Desa sangat rentan terhadap tekanan dan ancaman perkembangan ekonomi modern karena mereka akan menjadi obyek ekploitasi dari pada mitra dan pelaku utama pembangunan, minimal bagi mereka sendiri. Banyak pemerintah yang tidak peka terhadap pembangunan pedesaan walaupun ada individu dalam pemerintah yang sangat prihatin dengan situasi dan kondisi masyarakat desa saat ini.

Semoga!

Tony Djogo

tdjogo@gmail.com


Comments

Popular posts from this blog

Kepemimpinan Lingkungan (Environmental Leadership)

Sakura Sumba, Konjil, Bubunik, Buni, SakuraTimor, Mudi (Cassia javanica)

Sejarah Yayasan Mitra Tani Mandiri (YMTM) versus Yayasan Geo Meno (YGM)