Quo Vadis Penelitian & Perancangan (Research and Design) Untuk Pembangunan di NTT
Oleh Tony Djogo
Sekitar awal
tahun 1980-an saya membaca sebuah
artikel di Koran Kompas yang menyampaikan infomasi yang menarik bahwa dari seluruh
penelitian yang ada di Indonesia pada waktu itu hanya 0,01 persen yang bermanfaat. Saya tidak sempat
lihat apakah ada informasi juga tentang berapa persen yang bermutu, namun dari data tersebut artinya dari 10.000
penelitian hanya satu yang bermanfaat.
Jangankan dulu itu. Lihat informasi dari Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) tahun 2015. Jumlah penelitian yang dipublikasikan LIPI tahun
itu adalah 35.314 namun penelitian yang
sudah dimanfaatkan hanya 93 atau 0,26
persen. Kurang lebih dari 10.000 penelitian yang dilakukan hanya 26 yang
dimanfaatkan. Laporan ini juga menyampaikan bahwa ada 85 atau 0,24 persen proyek penelitian yang
merupakan kerja sama LIPI dengan Industri. Tetapi tidak ada informasi kerjasama ini apa dan hasilnya apa.
Saya pernah
bekerja dengan lembaga penelitian internasional dan lembaga internasional yang
membiayai penelitian tentang konservasi
hutan dan keanekaragaman hayati, perubahan iklim dan kaitannya dengan
pembangunan di berbagai daerah di Sumatera dan Kalimantan. Banyak laporan
penelitian yang dihasilkan tetapi tidak ada laporan tentang siapa user
dari penelitian-penelitian itu. Tidak ada analisis mengenai dampak dari
penelitian-penelitan yang sudah dilakukan. Banyak hasil penelitian hanya berupa
buku atau makalah. Seorang peneliti lembaga internasional mengeluh kepada saya
bahwa mereka sudah menyampaikan hasil penelitian yang diterjemahkan ke dalam Policy Brief untuk pemerintah tetapi
tidak di pakai. Setahu saya juga banyak hasil penelitian yang dipublikasikan
dalam bentuk makalah ilmiah, working paper, dan sebagainya yang berhasil
dipublikasikan di jurnal ilmiah tetapi tidak ada laporan apakah berhasil
dipakai dan terapkan pemerintah, swasta
dan masyarakat.
Jangankan
lembaga internasional, coba lihat juga ada berbagai lembagai penelitian di
kementerian atau pemerintah provinsi, tidak ada evaluasi terhadap hasil-hasil
penelitian mereka. Apakah berguna dan dimanfaatkan dalam pembuatan kebijakan
atau tidak untuk disain pembangunan.
Saya sendiri
pernah menjadi Pimpro paling tidak lima
proyek penelitian kerjasama Universitas-universitas besar di Amerika dengan
Indonesia. Sekilas melihat judul dan ide dasar penelitian dan pendekatan serta
hasil yang diharapkan cukup menakjubkan. Namun hasilnya umumnya mengecewakan
tidak dapat digunakan, bahkan ada metoda dan
pedekatan yang dipakai ada yang tidak dapat dipertanggung jawabkan. Yang lebih menyedihkan lagi ketika saya
berdiskusi dengan para peneliti asing
maupun Indonesia, orang-orang Indonesia lebih banyak diam membiarkan orang
asing dan para senior mereka saja yang
ngomong tentang substansi dan medotologi
penelitian. Peneliti Indonesia cenderung menjadi pekerja dari pada pemikir dan
disainer penelitian. Mereka lebih sibuk mengurus administrasi proyek
penelitian, jadi informan atau pengumpul data bahkan tidak terlibat dalam
penulisan hasil penelitian. Orang Indonesia tidak menjadi leader atau
peneliti di rumah sendiri.
Penelitian
yang dirancang dari jauh melihat permasalahan dari jauh tidak dapat menjawab kebutuhan penyelesaian
masalah lokal. Penelitian yang
melibatkan pakar asing dan nasional dengan gelar akademik yang hebat
cenderung membutuhkan dana yang sangat
besar. Belum termasuk transaction cost
yang umum ada dalam sistem di Indonesia. Selain honorarium perjalanan dan
seminar atau pertemuan sangat mahal.
Bagaimana dengan NTT?
Dapat
dipastikan penelitian di NTT sudah mulai dilakukan sejak jaman penjajahan
Belanda. Saya pernah membaca beberapa penelitian yang dilakukan sejak jaman
Belanda atau dilakukan oleh orang asing sebelum atau pada awal masa kemerdekaan. Dengan dana
yang sangat terbatas mereka bisa membuat penelitian dengan hasil yang menarik. Sedikit sekali ada
penelitian berbobot atau bermanfaat yang
dilakukan oleh orang Indonesia sejak saat itu. Banyak penelitian yang hanya berakhir dengan
rekomendasi dan permintaan untuk
melakukan penelitian lanjutan.
Saya juga
pernah bekerja dengan Universitas Nusa Cendana dan Politeknik Pertanian Undana yang kemudian menjadi Politeknik Negeri Kupang
(1982-2000) tentu saja selain mengajar juga melakukan penelitian. Banyak
penelitian yang dilakukan oleh para dosen dan mahasiswa. Tetapi tidak dapat
dipastikan bahwa hasil-hasil penelitian dapat atau sudah diterapkan. Mungkin
ada penelitian yang bagus tetapi pihak luar tidak tau.
Saat itu juga dunia
pendidikan, penelitian, LSM dan lembaga iternasional yang hiruk pikuk dengan
berbagai proyek yang langsung berhubungan dengan penelitian atau didukung
penelitian. Terlalu banyak penelitian yang dilakukan tetapi tidak jelas berapa
banyak yang bermanfaat dan diterapkan. Tidak ada independent assessment apakah penelitian itu syah,
valid, ilmiah dan bermutu atau tidak. Biaya yang sudah dikeluarkan oleh
penelitian tentu saja tidak sedikit.
Berapa banyak
penelitian yang sudah dilakukan dan berapa besar biaya yang sudah dikeluarkan?
Apakah ada dokumentasi dan analisis mengenai semua penelitian di NTT mana yang dipakai atau dimanfaaatkan atau
mana yang memberikan dampak pada kebijakan, pendidikan atau pengembangan SDA
dan SDM , teknologi dan industri atau pengembangan bisnis di NTT?
Bahkan sampai
tahun 1990 dan 2000-an penelitian-penelitian
kita lebih heboh dengan seminar hasil penelitian daripada tindak lanjut untuk merancang
model pembangunan, bisnis, teknologi atau pengembangan kelembagaan untuk
membangun NTT berdasarkan hasil penelitian.
Mengikuti
berbagai seminar yang pernah diselenggarakan di NTT memberikan kesan bahwa
penelitian dilakukan hanya untuk mengungkapkan masalah. Penelitian juga penuh
aroma seremonial daripada membangun kesadaran dan komitmen akan pentingnya
penelitian untuk membangun daerah ini. Seminar juga tidak mengarah kepada design, pengembangan business model atau prospectus bisnis.
Ketika ada
seminar cepat sekali tersebar informasinya melalui berbagai media cetak, online
atau medsos. Beritanya adalah tempat
penyelenggaraan seminar, siapa pembicara dan apa pesan-pesan pejabat pimpinan
lembaga yang melakukan penelitian. Penelitian-penelitian tidak diarahkan untuk
memecahkan masalah apalagi membuat rancang bangun atau disain teknologi,
pembanguan masyarakat, bisnis, industri dan perdagangan.
Apakah ada
penelitian yang benar-benar mengagumkan
sehingga dicari orang. Apakah ada
penelitian yang diminta swasta untuk diterapkan dalam industri dan perdagangan
atau bisnis mereka? Apakah ada penelitian yang diminta oleh Pemerintah karena
penting untuk membuat kebijakan yang tepat dalam pembanguan dari tingkat desa sampai provinsi? Apakah ada
penelitian yang dimanfaatkan dalam
Musrenbangdes dan penyusunan “RPJMDes”, APBDes dsb?
Ada penelitian
yang tampaknya menarik jika dirancang dengan sungguh-sungguh dan ditindaklanjuti secara terus menerus sampai
kepada integrasi ke dalam kebijakan,
juklak dan juknis pemerintah. Persoalanya indikator dan capaian pembangunan
yang ditarget pemerintah tidak mengakomodasi hasil-hasil penelitian yang dirancang dari luar. Mungkin tidak ada
hasil penelitian yang digunakan sebagai referensi
untuk penyusunan RPJMD (Provinsi, Kabupaten atau Desa), Renstra, Renja Dinas atau perencanaan anggaran pembangunan pemerintah.
Peneliti
terbuai dengan isyu atau trend global yang diasumsikan bisa di bawa dibawa ke
tingkat lokal dan bahwa isyu itu bisa dibawa dan menyelesaikan masalah-masalah
lokal. Namun gagal total. Tidak ada respons dari stakeholder lokal akan nilai manfaat penelitian-penelitian
tersebut. Bahkan sama sekali tidak terintegrasi ke dalam perencanaan, rancangan
dan kebijakan pembangunan di tingkat lokal.
Saya kira NTT
perlu memikirkan model kerjasama atau
kalau perlu kompetisi antar lembaga yang penelitian berkompeten melakukan
penelitian untuk menghasilkan disain, teknologi,
business model dan disain pembangunan
yang lebih realistis, berdampak dan berkelanjutan. NTT tidak kekurangan orang
cendikiawan tetapi mereka tidak pernah
bersatu atau sebaliknya bersaing merancang penelitian dan pengembangan
(R&D) bermutu tinggi, terbaik untuk pembangunan di NTT. Saya kira sudah saatnya
kita kurangi diskusi atau seminar-seminar yang tidak berdampak tetapi lebih
fokus pada kerjasama atau kompetisi riset, disain teknologi, bisnis,
pengembangan SDM dan SDA yang bermutu tinggi untuk pembangunan. Ada banyak kebutuhan riset dan disain untuk berbagai bidang pembangunan di NTT.
Kepala PIU dan Direktur Politeknik Pertanian Kupang 1984-1997
dan Program Management Specialist
USAID Indonesia 2009-2017
Comments