Vanili: Berjaya, Jatuh, Diabaikan, Meroket lagi tetapi Petani Bisa Jadi Korban


Oleh Tony Djogo

Harga Vanili sungguh tidak bisa diduga. Pernah meroket sampai ratusan ribu rupiah per kg basah tetapi harga ini pernah jatuh sampai hanya Rp.10.000 bahkan sampai Rp.3.000 per kilogram basah sebagaimana disampaikan petani di Alor dan Sikka dan Ngada. Di Alor tahun 2017 pernah mencapai satu juta per kilo basah sedangkan yang kering harganya 7 juta. Vanili Alor memang kualitas bagus sudah dapat Sertifikasi Indikasi Geografis. Tahun sembilan puluhan kita mendengar harga vanili kering bisa mencapai jutaan rupiah. Tetapi kita tidak tau pasti dan mengapa. Informasi produksi, ketersediaan dan harga komoditi bisanya dikuasai pedagang bukan petani atau masyarakat umum.


Saya sendiri tidak mengerti mengenai dasar penentuan harga vanili. Gejolak atau fluktuasi atau penetapan harga sulit dimengerti. Bisa ditentukan olerh pasokan dari negara lain, bisa karena bencana alam serangan hama penyakit atau kebutuhan negara besar yang menjadi konsumen utama vanili. Tetapi ada juga harga yang dipermainkan oleh tengkulak.
Selama kurang lebih dua minggu bulan lalu kami mengunjungi tiga Kabupaten bersama Tim dari Dinas Pertanian Provinsi dan Universitas Nusa Cendana dengan dukungan pemerintah Kabupaten, mengadakan reconaissance survey untuk mengetahui situasi, kondisi dan potensi Vanili di tiga kabupaten penghasil Vanili terbesar di NTT (Sikka, Ngada dan Alor). Dasar dari survai ini akan digunakan untuk penyusunan Master Plan pengembangan vanili di NTT yang difasilitasi Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi NTT .
Banyak temuan menarik yang tidak perah terungkap ke publik secara luas. Pemerintah perlu perhatikan ini jika ingin mengangkat Vanili sebagai salah satu komoditi unggulan NTT. Perhatian dan intervensi harus menyeluruh, terpadu dengan muara terakhir adalah pendapatan petani yang tentu akan memberikan sumbangan bagi dan perbaikan kesejahteraan petani Vanili. Petani ingin mendapatkan harga yang layak. Mereka bisa berjuang untuk mendapatkan yang lain. Dari kunjungan lapangan terungkap bahwa ada berbagai pengalaman, data dan informasi tentang persoalan-persoalan yang tidak pernah ditindaklanjuti dalam perbaikan perencanaan dan design pembangunan atau pengembangan tanaman perkebunan bukan hanya Vanili tetapi juga komoditi perkebunan lain.

Saat kunjungan kami ke Alor bulan lalu harga Vanili basah mencapai Rp.850.000 per kilo sedangkan harga Vanili kering mencapai 5 – 6 juta per kilo untuk vanili dengan kualitas bagus. Tentu ini untuk vanili yang dikawal dengan baik dari budidaya sampai dengan pemanenan dan pengeringan.
Dalam bulan yang sama harga Vanili basah di Sikka adalah Rp.400.000 – Rp.450.000 per kilo tetapi begitu ke Ngada harganya Rp.350.000 – Rp.400.000 per kilo. Ada yang menyedihkan ketika saya menemui seorang Ibu di Jerebu’u di Kabupaten Ngada yang dipermainkan oleh tengkulak yang menetapkan harga vanili Rp.150.000 per kilo. Si Ibu tentu saja tidak tau dasar penetapan harga dan dia tidak tau harga yang sedang berlaku di Alor, Sikka atau di tingkat nasional dan dunia. Karena dia punya hanya dalam jumlah kecil lumayanlah beliau jual untuk mendapatkan beberapa ratus ribu rupiah.
Di sini perlu peran penting dari pemerintah untuk memberikan informasi harga yang layak kepada petani vanili. Saya masih ingat tahun 1980-an ketika Dispenda sebuah kabupaten memantau secara rutin setiap hari harga komoditi di Surabaya. Apakah ini masih berlangsung? Mengapa ada perbedaan harga yang mencolok antar kabupaten atau bahkan dalam kabupaten? Sungguh aneh.
Vanilli mulai dikembangkan di Ngada dari tahun 1996, tetapi karena produksi masih rendah harga mentah masih berkisar 18.000 s/d 35.000, di tahun 2000 harga mulai bergerak naik di atas 100.000/kg vanilli mentah.
Tahun 2002 -2005 merupakan tahun kejayaan Vanili di Ngada. Petani mengaku hanya pada tahun itu mereka memperoleh banyak uang dan bisa membangun rumah. Ada yang menambahkan kami bisa beli sound sistem dengan loudspeaker besar untuk pesta atau upacara. Harga vanili waktu itu berkisar antara Rp. 135.000 – Rp. 320.000 bahkan ada yang Rp. 500.000 per kilo basah. Banyak petani panen uang. Tetapi masa jaya Vanili suram kembali karena harga jatuh menjadi hanya Rp.10.000 per kilo.
Tahun 2005 – 2006 banyak petani mulai menanam vanili di beberapa desa di Ngada karena harga yang sangat menggiurkan tetapi pada tahun 2006 - 2009 harga jatuh menjadi Rp.20.000 per kilo basa, sehingga petani patah semangat dan menebang vanili mereka atau membiarkan terlantar. Saat itu juga ada serangan penyakit bisul batang, petani secara perlahan alihkan komoditi lain seperti coklat, cengkeh, merica dan pala
Saat itu harga vanili jatuh karrena ada indikasi bahwa pedagang memasukkan pemberat ke dalam buah vanili supaya bisa mendapatkan vanili dengan bobot yang lebih tinggi. Akibatnya posisi Indonesia sempat berada dalam posisi yang memprihatinkan karena tidak dipercaya. Ada politik perdagangan dengan resiko tinggi
Petani juga jadi korban permainan, politik dagang dan serangan hama penyakit. Di Sikka harga tertinggi pernah dicapai juga tahun 2005 sampai 2006 setelah itu harga jatuh ke harga Rp.3.000 per kilo, harga jatuh berlangsung selama sembilan tahun. (informasi PPL dan Petani di Desa Dobo di Sikka).
Di Alor harga tiga tahun terakhir sampai tahun lalu cukup bagus Rp.300.000 per kilo. Namun sejarahnya pahit juga. Vanili mulai berkembang tahun 1990-an dengan harga vanili Rp.3000 – Rp.5000 per kilo dan harga terus meningkat mencapai Rp.300.000 lalu turun terus sampai harganya hanya Rp.5.000 per kilo. Padahal tahun 1990-an juga harganya Rp.5000 per kilo. Lalu harganya naik menjadi Rp.8000, lalu Rp.25.000 lalu ke Rp.40.000 dan naik menjadi Rp.300.000 . Waktu harga jatuh banyak petani potong buang tanaman vanili dan menggantikannya dengan tanaman lain. Ada yang tetap mempertahankan dengan harapan harga akan naik lagi Saat ini harga Vanili di Alor mencapai Rp.850.000 per kilo untuk yang kualitas prima. Luar biasa!



Tidak ada analisis menyeluruh dan terintegrasi untuk mengatasi masalah seperti ini yang bisa terjadi di komoditi lain seperti mete, kakao, kopi, kemiri, cengkeh, merica dan sebagainya. Namun satu hal yang sangat parah dengan Vanili adalah, sebagaimana terjadi di Sikka, Alor dan Ngada terjadi pencurian buah vanili dan bahkan batang vanili untuk dijadikan bibit.
Kebanyakan petani vanili menanam tidak dalam kebun khusus tetapi tumpang sari dengan berbagai jenis tanaman seperti kelapa, cengkeh, kemiri, lada, pala, kakao, pisang dan sebagainya. Mungkin ini perlu menjadi perhatian Dinas melalui PPL untuk membantu memperbaiki pola tanam agar hasil vanili per satuan tegakan dan satuan luas akan lebih baik.
Kadang pedagang pengumpul mempermainkan petani dengan menolak membeli vanili yang dipikul jauh-jauh dari desa dengan alasan belum ada harga yang pasti. Pada saat yang sama mereka diikuti oleh tengkulak yang menawarkan harga rendah sehingga petani, karena perlu uang dan daripada bawa pulang dan kadaluwarsa terpaksa jual dengan harga murah.
Liku liku jalur transportasi dan tata niaga vanili juga runyam. Ada petani dari Sikka yang menjual ke pedagang pengumpul lalu pedagang ini menjual ke Makasar. Tetapi ada juga yang menjual langsung ke Makasar dan ada yang ke Makasar lewat Ruteng-Manggarai. Tentu pembeli dan penjual mempunyai rantai niaga sendiri dengan perhitungan margin keuntungan tersediri. Info ini memperlihatkan ketidak-teraturan tata niaga dengan motivasi dan gap margin keuntungan yang bervariasi.
Misalnya tahun lalu (2018) harga vanili di Sikka adalah 300 ribu per kilo dan karena harga murah pedagang dari Manggarai datang membeli langsung di Sikka karena di Manggarai harganya 500.000 per kilo sementara di Makassar harganya 325.000 dan pedagang dari Makassar datang beli langsung di Sikka.
Di Sikka pencurian vanili sangat menyakitkan petani. Dalam diskusi dengan beberapa petani yang kami kunjungi di beberapa desa selalu ada berita “tadi malam petani x kehilangan vanili sekian kilo senilai sekian juta”. Pencuri masuk malam hari dan umumnya tidak tertangkap. Ada yang kehilangan sampai senilai 105 juta rupiah. Hanya dalam waktu beberapa jam di malam hari. Di tempat lain ada petani yang kehilangan vanili sebesar 30 juta ada yang 15 juta ada yang 60 juta. Kasihan sekali petani.
Ada kasus di sebuah Desa beberapa waktu yang lalu di mana pencuri hampir tertangkap tetapi berhasil kabur dengan meninggalkan motornya yang kemudian hangus dibakar masyarakat. Yang umum disampaikan petani adalah sulit sekali menangkap pencuri. Bahkan ada yang sudah kelihatan tetapi tiba-tiba menghilang dengan sangat cepat. Banyak cerita aneh dan mistis di sana yang berhubungan dengan pencuri Vanili.
Di Alor dan Sikka jika pencuri nekad pemilik vanili bisa jadi korban karena melindungi kebun vanilinya. Petani kadang terpaksa menjual Vanili yang masih muda karena kuatir akan hilang dicuri orang atau karena ingin segera mendapatkan uang karena kebutuhan yang mendesak.
Memperhatikan masalah ini Bupati Sikka mengeluarkan instruksi bahwa semua penjuual vanili harus menunjukkan asal usulnya dengan memperlihatkan kartu identitas (KTP) informasi lokasi kebun dan desanya yang akan diperiksa oleh Satpol PP. Penjual harus menyertakan surat keterangan kepemilikan Vanili. Vanili yang dijual harus yang sudah berumur 9 bulan setelah penyerbukan.
Ini sebuah langkah bagus untuk mencegah penjualan vanili secara ilegal. Pedagang pengumpul biasanya tidak peduli dengan asal usul vanili yang penting ada barangnya. Namun dengan Instruksi ini mereka harus berhati-hati. Yang penting ada kerjasama yang baik antara petani, desa, kecamatan, Satpol PP dan pihak keamanan serta Pemerintah Kabupaten.
Kerjasama dengan swasta juga perlu dibangun seperti yang dilakukan di Alor. Perusahaan Swasta PT MIO melakukan pendampingan sampai di tingkat kelompok bekerjasama dengan PPL lokal dan melakukan pendataan petani dan menjaga kualitas vanili agar memperoleh harga yang layak sesuai dengan harga pasar saat itu. Perusahaan yang membuat kesepakatan dengan pemerintah ini ini langsung membeli dari petani dan melanjutkan dengan proses pengeringan sebelum diperdagangkan ke luar NTT. Harga di Alor saat ini cukup bagus. Jadi swasta bukan hanya membeli tetapi juga melakukan pendampingan petani. Apakah model ini bisa dibuat di tempat lain?
Salah satu keluhan petani adalah kurangnya penyuluhan dan pelatihan bagi mereka walaupun di mana-mana banyak petani belajar sendiri. Persoalan serius khususnya tahun 2019 adalah kekeringan yang panjang dan cukup ekstrim. Banyak vanili layu atau kekeringan (sama halnya tanaman lain seperi Cengkeh, Pala dan Merica yang dapat dilihat di Sikka dan Ngada). Dinas pertanian perlu memberikan penyuluhan dan pelatihan tentang penampungan air hujan dan menggunakan irigasi tetes atau pembuatan rorak walaupun dengan teknologi lokal tetapi pasti akan sangat membantu. Masyarakat kadang mengeluh mereka asal tanam tanpa pengetahuan dan keterampilan teknis yang cukup. Tetapi karena harganya yang menggiurkan mereka melakukan uji coba sendiri.
Data BPS 2016 menunjukkan bahwa pada 2016 ada empat Kabupaten penghasil utama Vanili di NTT yaitu Kabupaten Ngada dengan produksi 122 ton, disusul Sikka dengan produksi 102 ton, Ende 72 ton dan kabupaten Alor 64 ton. Kabupaten lain yang juga menghasilkan dalam jumlah lebih kecil seperti Flores Timur (37 ton), Manggarai Barat (31 ton) dan Sumba Barat Daya (18 ton).
Secara kumulatif total produksi Vanili di provinsi NTT adalah 463 ton pada tahun 2016, dan pada tahun 2017 meningkat menjadi 499 ton dengan rata-rata produktivitas 499 kg per ha dan total luas tanam mencapai 2619 ha namun tamanan yang menghasilkan hanya 1192 ha. Jika dipukul rata harga vanili basah Rp.300.000 per kilo maka total pendapatan adalah Rp.149.700.000.000. sekitar 149 M. Mohon dicheck.

Tahun 2018, Alor menghasilkan 70 ton. Khusus untuk Alor saja karena kualitas dan harganya yang berbeda dengan jumlah ini jika harganya Rp.800.000 per kilo maka pendapatannya adalah Rp.56 M. Tentu saja jika tidak ada gangguan di mana luas tanam sudah dan produksi sudah meningkat di tahun 2019 yang nanti mungkin akan panen dalam jumlah besar dalam bulan Maret atau April tahun 2020. Semoga pada saat itu harga jual baik vanili basah maupun vanili kering menguntungkan petani.


Tampaknya data statistik pertanian tentang Vanili perlu diperbaiki. Dari diskusi di Kabupaten Ngada ternyata Vanili yang dulunya ditanam dalam skala luas di Bajawa Utara sudah tidak  berproduksi lagi. Demikian pula dengan Vanili yang dulu pernah ditanam di Nagekeo (Seperti di Raja ketika masih menjadi bagian dari Kabupaten Ngada)  sudah tidak ada lagi di beberapa tempat  yang menjadi titik awal pengembangan Vanili. Data luas tanam, produksi dan produktivitas perlu ditinjau lagi.

Dinas Pertanian Kabupaten Alor juga mengatakan bahwa data produksi vanili sebaiknya tidak hanya dalam  disampaikan dalam ukuran luas tetapi tegakan. Hanya beberapa petani saja yang mempunyai tanaman Vanili dalam jumlah yang besar atau hamparan  yang luas. Kebanyakan mengusahakan sekitar  beberapa are saja. Data luasan yang ada bisanya karena ekstrapolasi dan perlu diperhatikan jarang sekali ada vanili yang ditanam secara monokultur. Data luasan poenting secara administratif tetapi untuk membantu petani menakar hasilnya secara realistis alangkah baiknya jika ditakar dalam produksi per tegakan, yang angkanya  tentu saja sangat bervariasi.


Langkah penting yang perlu diambil dalam  pengembangan Vanili ke depan adalah peningkatan produktivitas dan produksinya berapapun luas lahan vanili yang ada di masing-masing daerah. Dinas Pertanian sudah memikirkan beberapa langkah antara lain dengan pembangunan pusat pembibitan atau penangkaran, pencegahan hama dan penyakit, antisipasi kekeringan. Perlu ada kerjasama yang lebih kuat dengan Dinas Perindustrian dan Perdagangan dalam mengamankan Tata Niaga Vanili yang lebih aman dan baik bagi petani. Informasi harga Vanili yang wajar  perlu disebarluaskan kepada Petani melalui Instansi Pemerinmtah yang berwewenang.  Pengamanan kebun petani dari pencurian juga adalah salah satu langkah serius yang harus diambil sambil didukung dengan peraturan daerah atau Bupati tentang tata niaga Vanili.
Terima kasih kepada Petani, Tokoh Masyarakat, Dinas Pertanian Kabupaten, POKTAN dan GAPOKTAN, BPP, Petugas Lapangan dan Penyuluh di Alor, Sikka dan Ngada atas waktu menerima kami dan memberi informasi yang sangat berharga ttg Vanili. Mohon koreksi dari teman-teman Petani, Dinas dan PPL di lapangan.


Comments

Popular posts from this blog

Kepemimpinan Lingkungan (Environmental Leadership)

Sakura Sumba, Konjil, Bubunik, Buni, SakuraTimor, Mudi (Cassia javanica)

Sejarah Yayasan Mitra Tani Mandiri (YMTM) versus Yayasan Geo Meno (YGM)