Pertanian NTT terlalu Kompleks: yang mana dan dari mana kita mulai atau kita fokus?


Pertanian NTT terlalu Kompleks: yang mana dan dari mana kita mulai atau kita fokus?

Sejak pensiun dari pekerjaan saya di Jakarta tahun 2017 dan sejak bertugas sebagai Staf Khusus bulan Oktober 2018 saya mengunjungi berbagai daerah di NTT, diskusi dengan banyak pihak, untuk mengamati dan mendiskusikan sistem produksi pertanian antara lain (sebagian kecil), pembangunan pedesaan, kemiskinan, komoditi, kelembagaan, tata niaga, ijon, tengkulak, penyuluh, gapoktan, P3A, politik anggaran dan alokasi anggaran pertanian, hadiri lokakarya, diskusi dan debat dengan orang kampus, LSM, Akademisi, Pakar, Birokrat, Politisi, Camat dan Kepala Desa, Dinas Pertanian Kabupaten, BPD, penjual hasil pertanian di pasar, sopir dll.

Persoalan yang dibahas juga sangat bervariasi bisa tentang air, pertanian lahan kering, mekanisasi dan alsintan, pakan ternak, HHBK, inseminasi buatan, atau sapi hasil Inseminasi Buatan (IB). Yang lain minta bahas soal bansos, kredit/KUR, dana desa, ada yang minta traktor, sumur bor atau embung Luar biasa rumitnya persoalan pertanian kita. Bagaimanapun juga harus diatasi. Fokus diskusi juga bisa melebar ke mana-mana tetapi bisa karena kepentingan dan kebutuhan, keahlian, posisi politis dan sebagainya.

Dalam kunjungan lapangan masih banyak saudara-saudara kita di desa miskin. Bahkan ada yang tidak berubah banyak dibandingkan dengan tahun 1980-an awal ketika saya kembali ke NTT untuk bekerja sebagai dosen dan menjadi Direktur Politani dan mengunjungi berbagai desa sampai awal tahun 2000.

Terlalu banyak yang saya temukan tetapi tidak banyak yang bisa kita perbaiki atau bisa diperbaiki secara tuntas, besar, berdampak sekaligus memperbaiki pendapatan masyarakat, mengurangi kemiskinan, mengatasi stunting, kesehatan dan lain-lain . 

Tahun 1995 saya berdebat sengit dengan Tim Peneliti Inpres Desa tertinggal (IDT) di Hotel Kristal) mengenai arah pembangunan pertanian dan pengentasan kemiskinan. Hasil penelitian para pakar ini berakhir di buku. Tidak ada disain untuk diterapkan di lapangan. Tragis. Sudah banyak riset, seminar atau lokakarya yang seharusnya menghasilkan data dan informasi yang berharga untuk pembangunan pertanian NTT. Tetapi tidak ada tindak lanjut.

Saya coba meneropong pertanian dari berbagai sudut pandang sesuai dengan kesempatan dan kemampuan yang ada. Bukan hanya teknologi atau komoditi tetapi juga pasar, kelembagaan, politik anggaran dan alokasi anggaran, cara intervensi, penetapan target dan indikator. Saya juga pelajari kontribusi pertanian pada PDRB, transaksi berjalan, neraca perdagangan berkaitan dengan pertanian. Apakah ada yang punya analisis yang menyeluruh dan tajam mengenai persoalan-persoalan ini? Kebetulan karena tugas dan tanggung jawab saya harus melihat bukan hanya komoditi pertanian tetapi juga peternakan dan kehutanan.

Saya melihat begitu banyak komoditi pertanian, tanaman pangan, perkebunan dan hortikultura. Juga begitu banyak tanaman pakan ternak atau tanaman kehutanan (HHBK). Ada kebutuhan yang tinggi ada kemampuan tetapi kita juga impor dari daerah lain berbagai kebutuhan seperti telur ayam, pakan ternak, bawang dan beberapa produk hortikultura bahkan pinang kita belu dari luar NTT karena kebutuhan yang sangat tinggi di sini.

Ada orang atau lembaga yang berhasil mengembangan teknologi dan komoditi pertanian dalam skala kecil, skala rumah tangga, skala kebun sendiri lalu menganggap bisa menyelesaikan seluruh persoalan di NTT. Walaupun demikian mereka menghasilkan model atau contoh yang patut ditiru dan disebarluaskan.

Ada banyak individu, atau kelompok tani, gabungan kelompok tani atau Dinas atau UPT yang berhasil dalam skala tertentu. Mereka berhasil dalam mencapai target sesuai dengan tugas dan tanggung jawab mereka. Mereka berhasil meningkatkan produksi atau mencapai target produksi yang direncanakan tetapi gagal ketika berhadapan dengan pasar, harga komoditi dan mafia perdagangan.

Bayangkan harga mete glondongan di Flotim tahun lalu mencapai Rp.27.000 per kilo dan tahun ini turun sampai Rp. 10.000 per kilo. Harga Vanili tahun lalu mencapai ratusan ribu rupiah per kilo basah bahkan sampai Rp.7 juta per kilo kering lalu tahun ini turun jauh sekali di tahun 2020. Sedih ada laporan bahwa petani di Lembor (Manggarai Barat) atau Bena (TTS) ketika panen harus menyerahkan hasil panennya kepada tengkulak atau ijon. Sedih juga ketika mendengar laporan dari PPL di Lembor bahwa Lembor sebagai lumbung beras justru menjadi penerima beras Rastra terbesar di Manggarai Barat? Tragedi. Mohon dicheck.

Apakah ada seorang pakar atau sekelompok pakar yang punya data dan analisis mengenai persoalan-persoalan ini? Apakah ada yang punya resep atau rekomendasi untuk mengatasi masalah-masalah ini secara terpadu dan menyeluruh?

Kita punya pengalaman dari pemerintah sebelumnya yang mempunyai tekanan atau fokus pembangunan pertanian yang berbeda-beda. Ada yang memusatkan perhatian pada tanaman atau komoditi, ada yang pada kelembagaan, gerakan, operasi, birokrasi, politik dan sebagainya. Apakah pernah ada analisis dampaknya?

Ada model pendekatan yang baik yang perlu dilanjutkan dan diperbaiki. Ada yang berdampak positif ada yang tidak berbekas sama sekali.

Saya sudah ikut banyak diskusi persoalan-persoalan pertanian bukan hanya komoditi atau petani, juga persoalan hulu-hilir, industri pengolahan, tata niaga, industri dan perdagangan, neraca perdagangan, capital flight dan sebagainya. Sudah lihat berbagai renstra, renja, master plan, road map, design dan grand design, business plan .... tetapi kenapa banyak yang tidak jalan? Apakah ada contoh yang berhasil? Saya ingin pelajari.

Comments

Popular posts from this blog

Kepemimpinan Lingkungan (Environmental Leadership)

Sakura Sumba, Konjil, Bubunik, Buni, SakuraTimor, Mudi (Cassia javanica)

Sejarah Yayasan Mitra Tani Mandiri (YMTM) versus Yayasan Geo Meno (YGM)