Pahitnya Kopi Arabika Bajawa: Tragedi dan Ancaman Krisis Kopi

Pahitnya Kopi Arabika Bajawa:
Tragedi dan Ancaman Krisis Kopi 

Oleh Tony Djogo

Antara tahun 2022 sampai 2024 saya keliling berbagai daerah penghasil kopi di enam Kabupaten  Flores. Tujuan saya adalah melihat perkembangan kebun-kebun kopi, produksi dan rata-rata pendapatan  dan ekonomi petani. Kemudian tahun 2023 saya kunjungi  banyak kebun kopi  berbagai desa penghasil kopi di Kabupaten Ngada khususnya tiga kecamatan penghasil kopi arabika  (Bajawa, Golewa dan Golewa Barat)  untuk melihat perkembangan  kebun-kebun  kopi arabika Bajawa. Saya tanyakan juga bagaimana pandangan petani, UPH dan Koperasi yang berbisnis kopi. 

Saya   temukan berbagai fenomena yang menyedihkan.  Luas tanam dan produksi kopi arabika Bajawa menurun drastis. Lebih dari setengah luas real kebun kopi sudah dikonversi menjadi kebun tanaman hortikultura; sayuran seperti sawi, kol, wortel, terong sayur.  bawang atau lombok dll, Bahkan banyak  petani memastikan bahwa kopi yang ada sekarang diperkirakan tinggal 30 persen. Bahkan mungkin kurang kata mereka. Hasil konsultasi daya dengan Dinas Pertanian mendapatkan beberapa data yang menyedihkan.

Luas kebun  dan produksi tinggal 30  persen posisi tahun 2015

Berdasarkan data Dinas Pertanian dan BPS, Jika tahun 2003 luas kebun kopi belum menghasilkan adalah 3.064 ha dan yang sudah menghasilkan adalah 2.856 ha  dengan total produksi 1.996 ton. Tahun 2005 luas tanaman yang belum menghasilkan adalah 798 ha dan yang sudah menghasilkan adalah 2.984 ha dengan produksi total (Arabika dan Robusta) 967 ton.  

Tahun 2015 total luas lahan kopi adalah 6.462 ha dengan total produksi 3.459 ton. Tahun 2024 total luas lahan kopi turun menjadi 1.807,47 ha dengan total produksi turun jauh menjadi 736,41 ton. Penurunan ini sangat tajam dan dramatis. Secara nyata dapat dilihat di lapangan di berbagai desa bagaimana banyak kebun kopi sudah dikonversi menjadi tanaman hortikultura dengan dampak positif maupun negatif. Dampak positip bagi petani adalah mereka memperoleh uang tunai yang lebih banyak dan lebih cepat setelah konversi menjadi hortikultura. Dampak negatifnya ada  kebun kopi yang mulai tercemar bahan kimia dari  herbisida atau pestisida.

uas kebun kopi tertinggi tercatat terjadi pada 2018  dengan luas total  6.740,00 ha  dan produksi 2.347,00 ton.  Produksi tertinggi terjadi pada  2015 dengan produksi 3.459 ton lalu menurun tahun 2016  dengan produksi 3.458,12 tetapi luas tanam 6.626,00 ha (Sumber : Dinas Pertanian Kabupaten Ngada).


Angka angka kadang membingungkan, sering tidak konsisten ada terjadi penurunan luas tanam tetapi terjadi peningkatan hasil sepeti yang dapat dilihat dalam Data Kopi di Kabupaten Manggarai Timur atau inkonsistensi data  kopi di Kabupaten Nagekeo. Sepertinya tidak ada verifikasi atau uji dan koreksi data yang dihasilkan. Data yang tidak tepat mempersulit penyusunan perencanaan pengembangan kopi baik dari aspek budidaya maupun  perencanaan bisnis  kopi.

Pamor dan popularitas kopi arabika Bajawa yang menjadi salah satu kopi  populer di Indonesia dengan cita rasa  yang spesial dan  diekspor ke berbagai negara sudah merosot  produksinya jauh dan menjadi sebuah paradoks. Popularitas masih sangat tinggi tetapi semakin banyak petani meninggalkan budidaya kopi. Produksi menurun  dan pendapatan petani menurun. Semakin banyak petani tidak tertarik menanam dan mengusahakan kopi.

Bukannya tidak ada upaya untuk memperbaiki kebun kebun kopi. Ada petani maju yang mengambil inisiatif untuk melakukan peremajaaan, pemulihan, pemangkasan dan pemupukan. Mereka membangun pesemaian, melatih sesama petani untuk pemupukan dengan sistem rorak, pemangkasan ataupun penanaman baru




Para pebisnis kopi atau pemerhati kopi  pasti sangat menyesal mengapa terjadi penurunan luas tanam yang begitu dramatis. Di mana-mana pemandangan kebun kopi sudah berubah dibandingkan dengan sepuluh sampai lima belas tahun yang lalu. 

Memang setiap kali pulang ke Bajawa saya selalu mampir di kebun-kebun kopi terutama jika berada dekat jalan umum. Terutama juga jika terjadi perubahan fisik kebun kopi, pohon pelindung, luas tanam atau semangat dan minat petani kopi yang terus menurun.

Ekosistem kebun kopi juga berubah. Dulu kebun kopi selalu ada dadap (Erythrina urophylla) pohon pelindung kopi atau “sombar” dalam bahasa Bajawa. Dadap adalah pohon pelindung andalan petani atau pemilik kebun kopi. Dalam  empat tahun terakhir  ketika saya kunjungi kebun-kebun kopi di Ngada (terutama di tiga Kecamatan penghasil kopi arabika)  petani mengeluh bahwa hasil kopi turun karena banyak pohon dadap yang mati kekeringan.  Pohon-pohon kopi sudah sangat tua. Hasil kopi pararel dengan pohon pelindung fenomenal ini. Memang dalam lima tahun terakhir nyata terlihat bahwa semakin banyak pohon dadap mati kekeringan. Tidak ada informasi yang pasti mengapa. Tidak ada riset ilmiah  untuk menjelaskan penyebabnya dan bagaimana mengatasinya.

Ada upaya untuk menggantikan dengan jenis dadap  (dadap unggul) yang baru tetapi  petani mengeluh bahwa jenis baru ini tidak bertahan. Kemudian diperkenalkan kan tanaman Lamtoro PG79 yang memang sangat menyuburkan tanah dengan daun lebat serta humus yang terbentuk di bawahnya sangat tebal dan menggemburkan tanah. 

Namun tidak semua petani menyukai lamtoro ini. Mereka mengatakan tidak sama dengan dadap. Sebelum  lamtoro  jenis PG79 dan dadap jenis baru diperkenalkan, banyak kebun kopi yang di tanami dengan sengon (Paraserianthes falcataria). Sengon memang memberikan perlindungan. Tetapi pohon sengon terlalu tinggi bisa mencapai 20 meter dan tanah di bawahnya tidak segembur seperti kalau di bawah pohon dadap. Juga pohon sengon yang sangat tinggi cukup riskan dan manajemen pohon tidak banyak dilakukan. Kalau sengon sudah tua dan tinggi sekali maka pohon sengon akan ditebang untuk dijadikan kayu bangunan. 

Tahun  1960-an atau 1970an ketika dadap masih menjadi pohon pelindung utama saya dapat menyaksikan bagaimana tanah di bawahnya subur dan gembur berwarna hitam pekat. Apalagi kopi arabika umumnya tumbuh di dataran tinggi dengan tanah andosol yang terbentuk dari bahan-bahan vulkanik Sangat gembur dan subur. Kopi berproduksi bagus.

Menurut berbagai dokumen, Kopi arabika Bajawa sangat populer sebagai salah satu jenis kopi dengan kualitas dan cita rasa tinggi. Kopi arabika Bajawa diekspor ke berbagai negara termasuk Eropa, Jepang, Timur Tengah, Cina, Amerika Serikat, Kanada, Australia  dan  Korea. Sangat populer.  Kopi bubuk atau kopi yang sudah disangrai dapat ditemukan di berbagai Mal atau cafe dan Restoran di Jakarta, Bogor, Surabaya dan lain-lain  selain minuman kopi  yang disajikan di restoran.

Tata niaga kopi arabika Bajawa juga rumit tidak terkendali. Banyak pedagang dari daerah masuk langsung ke kebun kebun petani, manfaatkan  pengepul atau tengkulak atau orang lokal. Mereka buka gudang di Bajawa tampung kopi gelondong merah proses langsung menjadi kopi HS, dijemur dan dikirim melalui pedagang antar pulau. Pedagang antar pulau mempunyai tempat penjemuran di beberapa lokasi. Persaingan cukup sengit tetapi pasokan kopi dari kebun semakin parah. Petani kopi lokal ,mengenal pembeli dari luar sebagai “bayer” atau “buyer”.

Saya sudah mengamati perubahan-perubahan ini sejak tahun 2017 yang semakin masif sampai tahun 2024. Tahun 2025 diperkirakan luas kebun kopi tinggal kurang dari 30 persen dari luas pada tahun 2015.  Dan ini dapat dibuktikan dengan data ATAP Dinas Pertanian Kabupaten Ngada. Persoalannya data statistik pemerintah yang resmi terutama data pendapatan petani, pendapatan daerah, data ekspor atau data perdagangan antara pulau  kadang sulit diperoleh atau berbeda beda satu sama lain dan memerlukan verifikasi lebih lanjut. Data ada tetapi tersebar ke mana-mana tidak dikonsolidasikan. Apalagi data ekonomi, pemasaran, konsumsi, perdagangan  daerah atau antar pulau dan ekspor.

Peran pemantauan  dilakukan oleh MPIG tetapi anggaran dan kapasitas yang terbatas. Pemerintah sendiri mempunyai keterbatasan anggaran dan kapasitas.

Sementara itu banyak UPH yang berguguran padahal mereka mempunyai peralatan-peralatan yang bagus dan  ada yang mahal untuk pengolahan kopi. Banyak peralatan yang tidak terpakai dan tidak dirawat karena bisnis tidak menguntungkan dan tidak ada dukungan lagi

Perbaikan produksi  dan pemasaran kopi arabika memerlukan kerja sama lintas lembaga. Bukan hanya urusan pemerintah. Kerja sama  dan dukungan perlu dibangun bersama lembaga-lembaga lokal, LSM, pebisnis dan lembaga penelitian. Kita perlu dukung  pemerintah, MPIG, UPH dalam penyusunan kebijakan dan penguatan kelembagaan, road map atau grand design pengembangan kopi arabika Bajawa secara terpadu. Di tingkat kebun kita perlu penyusunan perencanaan kebun yang terpadu dan berorientasi hasil jangka panjang.

Urusan kopi sebaiknya tidak hanya menjadi urusan dan tanggung jawab Dinas Pertanian tetapi juga perlu melibatkan Dinas Kehutanan (KPH) , Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa, Dinas Koperasi dan UMKM dan lain-lain.






Jika tidak asa upaya-upaya yang segera dilakukan kita akan krisis kopi arabika Bajawa.  Harumnya kopi arabika Bajawa ada di kota-kota besar  di Indonesia bahkan di negara lain tetapi kita akan dapatkan pahitnya di Bajawa. Semakin sedikit petani kopi yang mau menanam dan merawat kopi. Sementara itu lembaga-lembaga seperti UPH dan Koperasi semakin kelimpungan karena pasokan kopi menurun dan bisnis kopi arabika Bajawa  tidak menguntungkan.









Comments

Popular posts from this blog

Kepemimpinan Lingkungan (Environmental Leadership)

Sakura Sumba, Konjil, Bubunik, Buni, SakuraTimor, Mudi (Cassia javanica)

Sejarah Yayasan Mitra Tani Mandiri (YMTM) versus Yayasan Geo Meno (YGM)